08 Mei 2008

‘SPG’ DAN ROK MINI

OLEH: Eka Sumaryati

Diantra hilir mudik dan keramaian mol-mol besar selalu tersembul senyum manis. Paras yang ayu, body yang aduhai akan menyapa ramah setiap pengunjung mol. Walaupun terkadang nampak letih tetapi tetap saja pengunjung bisa ‘cuci mata’ dengan sekedar melihatnya. Bahkan karena adanya mereka tidak jarang pengunjung datang hanya sekedar ingin melihat-lihat. Begitu beratinya mereka bagi sebuah mol. Dengan mengenakan seragam yang sudah disediakan oleh mol tempat mereka bekerja mereka mampu mejadi identitas bagi mol tersebut. Mereka adalah Seles Promotion Girl atau sering kita kenal dengan SPG.
Pengunjung mol akan sangat akrap sekali dengan pemandangan rok mini di atas lutut dan juga make up tebal yang menghiasai wajah. Hal tersebut bukan sebuah kesamaan yang tidak disengaja. Serentetan persyaratan untuk menjadi SPG memag telah ditentukan oleh pihak pemilik MOL. Bisa dikatakan untuk bisa menjadi seorang SPG mol tidak harus pandai akan Jual-beli namun cantik, menarik, dan memiliki ukuran tubuh yang porposional justru merupakan syarat utama. Sehingga tidak heran jika ada yang kesulitan mencari SPG yang ‘tidak menarik’.
Nanang Rekto Wulangaya S.Pd, CDAC, seorang konselor dan pengamat sosial menuturkan “Menjadi seorang SPG itu tidak mudah, ukuran tubuhnya harus proporsional. Antara ukuran payudara dan panggul itu juga menjadi pertimbangan, dan sebelum menjadi SPG mereka harus tanda tangan kontrak bahwa mereka bersedia mengenakan rok mini”. Ironis memang, ketika SPG dimanfaatkan sebagai sebuah daya tarik. Memajang mereka di tiap pojok-pojok counter barang. Apakah hal semacam ini yang diinginkan oleh pihak mol?
Ketika disinggung mengapa harus memakai busana seragam yang sedemikian itu, banyak mol yang berdalih itu semua merupakan wujud ke-universalan. Memang tidak bisa dielakkan bahwa dunia industri kita memang berkiblat pada barat. Dan tidak bisa disalahkan jika hal tersebut terjadi. Namun haruskah selamanya dan seterusnya dunia bisnis mol kita selalu mengkiblat pada barat. Tidak bisakah budaya dan adat ketimuran kita memberikan sumbangsih untuk kemajuan dunia bisnis mol kita. Para pemilik mol yang menerapkan sistem seragam ‘rok mini’ harusnya sedikit banyak mempertimbangkan nilai-nilai budaya. Jika hal ini tidak dilakukan kapankah budaya kita akan menjadi budaya yang universal ketika pemiliknya sendiri enggan meliriknya.
Perlu diingat bahwa mol dewasa ini bukan hanya sekedar bisnis biasa, namun telah menjelma menjadi wajah suatu kota. Ketika disebutkan kota Yogyakarta maka akan segera teringat ‘Malioboro’, Jakarta dengan ‘Plaza Senayan’ dan sebagainya. Dengan kesadaran yang demikian hendaknyalah dunia bisnis mol tidak seterusnya berkiblat pada barat, namun perlahan menggunakan tolak ukur budaya sendiri.

* wartawan PENDAPA NEWS

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogroll

Site Info

Text

CERDAS POS Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template