30 April 2009

Satu Mai 2009:Bangun Persatuan Nasional Melawan Neoliberalisme


Departemen Agitasi dan Propoganda DPP-PAPERNAS

Selamat menyambut Hari Pekerja atau May Day. Seperti biasa, berbagai gerakan pekerja seluruh dunia akan tumpah ruah ke jalan untuk merayakan hari bersejarah ini. May day kali ini akan menjadi lebih bersemangat, lebih tumpah ruah, karena bertepatan dengan kehancuran ekonomi dan krisis politik yang dipicu oleh krisis kapitalisme. Rejim kapitalis dimana saja, telah merespon krisis dengan menyerang standard dan kehidupan sosial pekerja, seperti upah, jaminan sosial, jam kerja, dan sebagainya.

Sejarah may day telah memberikan pelajaran penting bukan hanya mengenai pengalaman perjuangan yang begitu berharga, tetapi juga pelajaran penting akan perlunya persatuan bagi kaum pekerja. Untuk pekerja, may day bukan sekedar perayaan (celebration), tetapi sebuah peringatan (commemorates) atas sebuah perjuangan pekerja melawan eksploitasi kelas kapitalis. Dalam banyak pengalaman, momen May Day tidak terlepas dari lingkup ekonomi dan politik yang sedang dihadapi oleh gerakan pekerja di mana saja; local, nasional, dan internasional.

Krisis Kapitalisme dan Kejatuhan Standar Hidup Kaum Pekerja

Kita tidak bisa meremehkan krisis sekarang ini. Hampir semua pengamat dan analis sudah memposting pendapat mereka di media dan jurnal-jurnal. Hampir seluruh analisis tersebut memiliki kesimpulan yang sama; ini adalah krisis yang cukup mendalam dan parah, lebih parah dari krisis 1929 (baca; krisis malaise). Krisis ini akan berlansung panjang dan bersifat mendalam (struktural), karena merupakan kombinasi dari krisis besar financial (great financial crisis) dan stagnasi ekonomi, krisis ekologi, dan krisis ideologi neoliberal. Kita tidak membahas penyebab dan proses krisis ini berjalan, tetapi lebih focus kepada dampaknya bagi sektor pekerja di Indonesia.

Berhadapan dengan krisis, analisi dan sejumlah asosiasi industri sudah memberikan peringatan akan adanya jutaan orang bakal kehilangan pekerjaan tahun ini, karena dampak krisis kapitalisme. Penyebabnya, kegiatan ekspor yang terus menurun. Menteri perdagangan SBY, Marie Elka Pangestu, memprediksikan ekspor Indonesia akan turun berkisar 20-30%, tetapi banyak pengamat memprediksi lebih tinggi dari angka itu. Data 1Badan Pusat Statistik menunjukkan ekspor nonmigas pada Februari turun 2,4% menjadi US$6,1 miliar dibandingkan dengan bulan sebelumnya US$6,2 miliar2.

Selama ini, perekonomian Indonesia begitu bergantung kepada ekspor. Tiga negara tujuan utama ekspor Indonesia, yaitu AS, Jepang, dan Uni eropa, sedang bergerak menuju resesi. Sedangkan china, yang beberapa tahun terakhir menjadi target tujuan ekspor Indonesia, ekonominya juga sedang melambat akibat krisis financial.

Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi gap antara kapasitas produktif industri dengan tingkat permintaan (baca; masalah realisasi). Pihak asosiasi industri mengaku, sejak tahun 2008 kapasitas produksi manufaktur turun sebesar 30%. Selain itu, hal ini telah menggerus nilai keuntungan mereka sebesar 50%3.

Di industri sepeda motor, misalnya, kapasitas terpasang industri sepeda motor domestik saat ini mencapai 7,5 juta unit per tahun. Utilisasinya menurun tajam dari 84% pada 2008 menjadi hanya 58%. Permintaan sepeda motor tahun ini diperkirakan menyusut menjadi 3,78 juta unit hingga 4,4 juta unit.

Dalam krisis, para kapitalis akan berupaya menjaga profitabilitas dengan menekan upah dan komponen-komponen yang berhubungan dengan pengeluaran untuk pekerja. Sebagai misal, tahun lalu, ketika pemerintah bereaksi untuk menolong pengusaha dari kejatuhan tingkat keuntungan dengan memaksakan pemberlakuan SKB 4 menteri. Bagi pengusaha, kebijakan ini bermanfaat untuk menahan laju kenaikan upah pekerja.

Perjalanan krisis, setidaknya sejak september 2008 lalu, telah mengarahkan kaum pekerja pada kesulitan luar biasa, antara lain; pertama, ancaman PHK massal. Berdasarkan perkiraan, setidaknya 2-3 jutaan pekerja terancam kehilangan pekerjaan. data Apindo daerah menyatakan, sampai Maret sudah ada 240.000 orang yang kena PHK. Repotnya, itu terjadi pada sektor-sektor usaha yang penting dan bersifat padat karya, seperti tekstil dan garmen sebanyak 100.000 orang, sepatu (14.000), mobil dan komponen (40.000), konstruksi (30.000), kelapa sawit (50.000), serta pulp and paper (3.500)4.

Kedua, selain ancaman PHK, pekerja mengalami tekanan secara drastis pada upah dan jaminan sosial. Kenaikan UMR pada tahun 2009 tidak melebih 10%, padahal kenaikan harga kebutuhan pokok lebih tinggi dari angka tersebut. Sebagai contoh, UMR DKI hanya ditetapkan Rp. 1.096.865, sementara hasil penelitian sejumlah lembaga memperlihatkan kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja lajang adalah Rp. 1,5 juta keatas. Hasil penelitian Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)5 juga menunjukkan bahwa tingkat upah sekarang ini menyulitkan pekerja memenuhi kebutuhan dasarnya.

Ketiga, neoliberalisme benar-benar menjatuhkan standar hidup rakyat Indonesia, termasuk kelas pekerja. Berdasarkan penelitian Roy Morgan Research, terdapat 59% penduduk Indonesia yang tidak lagi regular menyimpan uang. Kemudian, 59% penduduk Indonesia yang harus menghabiskan 20-30% anggaran bulannya hanya untuk membeli bahan makanan. Dengan kondisi demikian, dapat dipastikan bahwa sekitar 60% populasi Indonesia kesulitan dalam mengakses tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan.

Berlanjutnya Kekuasaan Rejim Neoliberal

Sialnya, harapan bahwa pemilu 2009 dapat melahirkan warna baru dalam kebijakan politik untuk merespon krisis, ternyata justru menjaga kesinambungan rejim neoliberal sebelumnya. Sementara ini, partai –partai sayap kanan dan pendukung neoliberal terlihat mendominasi hasil pemilihan. Lebih spesifik lagi, partai-partai yang memperkuat formasi neoliberal di Indonesia memenangkan pemilihan, seperti Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, dan lain-lain.

The Econimist menggambarkan pemilu Indonesia sebagai berikut; “sebuah karnaval dari kompetisi demokratis: lambaian bendera dan umbul-umbul, prosesi klakson dan bunyi-bunyi keras; iklan kampanye di TV; rally massa dengan beberapa pidato; pemberian kaus gratis, uang 20 ribu kepada setiap peserta kampanye, dan yang terpenting, bernyanyi dan berjoget….hal ini untuk menyatakan absennya perdebatan politik dan hilangnya spirit6.

SBY mendapat dukungan kuat dari klas kapitalis di Indonesia dan dunia karena agenda neoliberalnya. Sejak memerintah, dari 2004-2009, administrasi SBY benar-benar menjaga komitmen terhadap pasar bebas; Indonesia benar-benar menjadi surga bagi investasi asing dan perusahaan multinasional. Dalam sebuah pertemuan dengan kamar dagang industri dari negeri-negeri kapitalis maju di Jakarta, pada akhir bulan lalu, SBY berjanji akan melanjutkan kebijakannya yang “bersahabat” dengan modal asing7.

Dengan dukungan sebesar itu, baik klas kapitalis internasional maupun di dalam negeri, SBY berhasil mengumpulkan dana dan logistik paling besar. Dia juga berhasil mengontrol dua institusi penting, yaitu KPU dan kepolisian. Melalui kedua institusi ini, SBY mengorganisasikan kecurangan secara sistematis di hampir semua TPS seluruh Indonesia. Kunci permainannya adalah DPT fiktif. Dengan DPT fiktif, SBY berhasil menggembosi suara partai-partai lawan, dan memperbesar suara partainya sendiri.

Selain karena faktor kecurangan, faktor lain yang memungkin kemenangan SBY adalah; pertama, Peran media massa, lembaga survey, dan pembuat opini publik dalam menaikkan popularitas SBY di hadapan rakyat. secara praktis, politik pencitraan SBY digerek oleh dua hal, yaitu; politik media dan hasil-hasil survey. Kedua, ketepatan dalam menggunakan kartu, seperti menurunkan harga BBM, BLT, PNPMandiri, KUR, dsb, pada saat menjelang hari pemilihan. Ketiga, Absennya gerakan anti neoliberal yang massif sebelum dan pada saat kampanye pemilihan. Hampir tidak ada serangan politik berarti dari kelompok oposisi maupun organisasi pergerakan. Padahal, jauh sebelum itu, SBY telah unggul secara organisasi karena sudah berhasil memecah belah partai-partai lain, seperti PDIP, PKB, PPP, dan Golkar.

Dengan situasi politik diatas, bagaimana dengan pemilu presiden? Sebetulnya, pemilu legislatif sudah sangat menggambarkan kemungkinan kubu-kubu yang bertarung dalam pilpres, yakni SBY versus Megawati. Dan jika benar begitu, maka sudah dipastikan rejim SBY akan kembali memenangkan pemilu presiden, dan kembali memegang mandat untuk menjebak Indonesia kedalam scenario neoliberalisme.

Hanya saja, dengan memperhatikan komposisi dan konfigurasi kekuatan pro-neoliberal yang terpetakan dalam hasil pemilu legislatif, maka dapat diperkirakan bahwa kebijakan neoliberal yang dihasilkannya jauh lebih dahsyat, lebih agressif, dan lebih brutal lagi. Untuk memperkuat dugaan ini, disini setidaknya ada beberapa alasan; pertama, Dengan krisis sekarang, sistem kapitalisme internasional membutuhkan suntikan capital dari negeri-negeri dunia ketiga (peripheri). Hal ini diperoleh hanya dengan memaksakan tingkat akumulasi dan eksploitasi terhadap tenaga kerja dan sumber daya material di negeri-negeri berkembang. Kedua, sebagai partai pemenang pemilu (20%), demokrat punya peluang besar menggalang koalisi besar di parlemen dan menyapu kursi-kursi yang ada. Dengan demikian, SBY telah menyapu jalannya dari oposisi yang sering mengganggu di parlemen.

Berarti, jika SBY kembali menjadi presiden dan koalisi pro-neolib mendominasi parlemen, maka tidak ada hambatan pula bagi keluarnya serangkaian kebijakan neoliberal di Indonesia. Pengalaman sebelumnya, meskipun kekuatan oposisi masih sering menggangu upaya SBY di parlemen, tetapi berbagai kebijakan neolib—kenaikan BBM, SKB empat menteri, UU pro-neolib, dll—masih tidak terhadang sama sekali. Bahkan, berkali-kali gerakan massa ekstra-parlemen pun tidak berdaya menghadangnya.

May Day , kecurangan pemilu, dan Perkuat Blok Anti Neoliberal

Arti penting May day 2009 adalah karena bertepatan dengan derap langkah sayap kanan pendukung neoliberal untuk melanjutkan kekuasaannya. Bukan hanya di Indonesia, tetapi di berbagai belahan dunia, perlawanan serupa juga mengambil tempat dalam tuntutan dan proposal perjuangan mereka.

Dalam peringatan May day, ada dua tema mendasar yang harus direspon, yakni persoalan kecurangan pemilu---menyangkut persoalan demokrasi—dan berlanjutnya kekuasaan neoliberal. Kecurangan pemilu dan berlanjutnya kekuasaan neoliberal merupakan dual hal tidak terpisahkan. Pemilu curang merupakan basis kemenangan partai-partai kanan-neoliberal.

Dalam persoalan demokrasi, point yang paling krusial harus disuara gerakan pekerja adalah; pertama, penghilangan paksa hak pilih rakyat karena mereka tidak terdaftar dalam DPT. Padahal, untuk melakukan pendataan, KPU telah dibekali begitu banyak anggaran. Setidaknya, berdasarkan berbagai sumber, KPU telah dibekali Rp. 3 trilyun untuk pemuktahiran data, agar seluruh rakyat bisa menggunakan hak pilihnya. Kemana dana tersebut?

Kedua, KPU tidak memberikan kemudahan kepada para pemilih dalam menggunakan hak pilihnya, misalnya; KPU tidak memfasilitasi TPS di rumah sakit, tempat rekreasi, penjara/LP, dan lain-lain. Banyak pekerja juga yang kehilangan hak pilih karena dipersulit oleh aturan KPU, misalnya soal domisili, dsb.

Ketiga, terjadinya penggelembungan suara atau kecurangan yang dilakukan di sejumlah TPS, baik yang dilakukan oleh panitia penyelenggara pemilu (PPS-PPK-KPUD-KPU) maupun oleh aparat pemerintahan.

Persoalan kesejahteraan dan pengabaian hak politik (demokrasi) saling berkaitan. Bagi gerakan buruh, hal ini menyediakan potensi front yang luas dan lebar, yaitu mencakup sektor-sektor yang menjadi korban neoliberalisme8 dan kekuatan-kekuatan politik yang dirugikan oleh pemilu “curang” rejim neoliberal. Tentu saja, potensi politik ini hanya bisa terbuka jika gerakan buruh merespon persoalan kecurangan pemilu dikombinasikan dengan sentimen anti-neoliberalisme. sehingga, persoalan kecurangan pemilu –sebagai masalah demokrasi—harus menjadi salah satu tuntutan dalam gerakan buruh pada satu mei, selain tuntutan-tuntutan anti-neoliberal.

Ada beberapa bahan yang perlu mendapatkan pendiskusian khusus dari gerakan pekerja; pertama, bagaimana merumuskan musuh utama dan siapa kawan terdekat, maupun sektor-sektor sosial yang perlu dirangkul pada tahap histories tertentu. Hal ini penting, supaya gerakan buruh tidak membuang “kesempatan” dalam menghadang berkuasanya kembali rejim neolib di Indonesia, seperti pada pemilu legislatif yang lalu. Selain itu, proses kecurangan dalam pemilu dapat menjadi basis menarik dukungan luas, karena pelaku kecurangan adalah juga rejim neoliberal.

Kedua, kekuatan-kekuatan politik yang belum kelihatan anti-neoliberal, tetapi beroposisi terhadap penyelenggaraan pemilu yang curang, seperti kelompok-kelompok penggiat demokrasi, partai politik, dsb, perlu diberi ruang untuk terlibat dalam aksi bersama satu mai (Hari pekerja internasional). Sehingga, aksi peringatan 1 mei bisa kelihatan sebagai aksi rakyat menggugat penyelewengan pemilu, yang dilakukan oleh rejim neolib. Seperti yang diorganisir oleh PRD, manuel Lopez Obrador, di Meksiko, ketika mereka memobilisasi lebih dari 2 juta orang di seluruh negeri untuk memprotes kecurangan pemilu. Mereka menduduki lapangan utama di kota Mexico city, Zocalo, dimana ia menggelar “sidang rakyat luar biasa” menolak hasil pemilu curang.

Ketiga, perlu dirumuskan program dan proposal alternatif diluar skema neoliberalisme yang ditawarkan oleh aliansi neolib sekarang. Program dan proposal ini harus bisa menyatukan semua sektor dalam tuntutan bersama. Selain itu, perlu difikirkan slogan yang menyatukan kehendak massa rakyat, seperti: tanah, roti, dan perdamaian-nya Bolshevik9. Dengan peran media semakin begitu besar, maka slogan punya arti penting sebagai alat identifikasi oleh massa, mirip brand pada produk.

Dalam momentum May Day, yang dipahami sebagai peringatan perjuangan buruh yang heroik dan berhasil, capaian politiknya harus menstimulasi lahirnya polarisasi besar dalam konteks politik nasional; antara pro-neoliberalisme dan anti-neoliberalisme, apalagi karena mendekati pemilu presiden. Belum lagi memperhitungkan beberapa momentum perlawanan pada bulan mei, seperti peringatan tragedy trisakti, peringatan kejatuhan orde baru10, hari pendidikan nasional, dsb. Boleh jadi, peringatan May Day menjadi awal untuk menstimulasi perlawanan yang lebih besar.

Pemerintahan Persatuan Nasional dan Programnya Bagi Kaum Pekerja

Persatuan nasional yang dibicarakan disini adalah aliansi sektor-sektor yang menentang neoliberal, menyepakati program kemandirian bangsa (kedaulatan nasional), serta mencita-cita indonesia masa depan yang berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang budaya. Persatuan ini bukan saja organisasi-organisasi massa (serikat buruh/tani), partai politik, gerakan sosial, tetapi juga individu dan tokoh-tokoh (intelektual, seniman, professional, teknokrat, dsb) yang bervisi anti-neoliberal dan pro-kemandirian bangsa.

Karena medan aliansi yang kita masuki kedepan, terutama pilpres, adalah sangat luas dan beragam, maka diperlukan sebuah core inti yang mengambil kepemimpinan dan menjalankan program secara independen. Core ini dapat difungsikan sebagai poros yang terus mengarahkan koalisi ini tetap berjalan pada rel anti-neoliberal. Program tersebut adalah program anti neoliberal secara konsisten dan program-program kemandirian bangsa.

Pemerintahan persatuan nasional harus terus dikampanyekan, sebagai penjelasan kepada rakyat bahwa ideal dari perubahan politik di Indonesia adalah pergantian kekuasaan politik, dari rejim neoliberal menjadi sebuah pemerintahan baru dan haluan ekonomi baru; anti-neoliberal (berdikari dan solidaritas).

Berikut beberapa proposal yang perlu diajukan gerakan buruh:

1. Program Darurat Mengantisipasi Krisis Finansial:



1. Mengembangkan sistim jaminan sosial yang komprehensif kepada pekerja, berupa; Asuran Kesehatan, Pensiun, Jaminan Bagi Penganggur, dan sebagainya;
2. Menghapus pajak penghasilan bagi buruh dengan pendapatan 1,5 juta ke bawah;
3. Membangun dan menjamin perumahan massal dan layak bagi buruh, dengan prioritas buruh yang ber-upah 1,5 juta ke bawah.
4. Meminta penambahan anggaran Bantuan Keuangan Pemutusan Hubungan Kerja (BKPHK) dari program Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP) Jamsostek. Saat ini, anggaran BKPHK nilainya sangat kecil, yaitu Rp. 350 ribu/orang, sehingga tidak dapat dimanfaatkan menjadi modal usaha.
5. Mendorong Negara menyediakan kredit untuk pembangunan unit usaha kerakyatan, seperti koperasi-koperasi, home industri, dan Usaha Kecil menengah, terutama korban PHK. Dana dapat diserahkan kepada setiap serikat buru/ serikat pekerja, dan dikontrol dan diaudit oleh publik.
6. pabrik-pabrik yang ditinggalkan oleh pemiliknya, harus disita mesin-mesinnya dan kemudian diambil alih Negara, kemudian dijalankan oleh buruh dengan pendanaan dan dukungan dari Negara. Jadi, semacam kemitraan kerja antara pekerja dan Negara;
7. Mendorong misi “pendidikan” untuk kaum buruh berdasarkan tingkatan (pemberantasan buta huruf, sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, dan universitas);



2. Berikut beberapa program penyelamatan Industri Nasional;



1. Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, sistim transfortasi, pelabuhan, bandara, pasokan listrik, dan lain-lain untuk menopang industrialisasi;
2. Membangun industri berbasis sumber daya alam guna member nilai tambah kepada rakyat. Selain itu, kebijakan strategis industri harus mendorong sektor swasta harus menghasilkan industri yang mengelola bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan barang jadi;
3. Mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor dengan mulai memanfaatkan bahan baku yang tersedia di Indonesia. Selain itu, Negara harus menjamin ketersediaan bahan baku untuk Industri agar tetap berproduksi. Jika diperlukan, larangan ekspor terhadap jenis bahan baku tertentu dapat diberlakukan hingga kebutuhan domestik dapat terpenuhi;
4. Meng-upgrade mesin-mesin yang sudah tua dengan mesin-mesin yang baru. Investasi yang bergerak pada penciptaan mesin (mother machine) perlu digalakkan. Mendorong industri elektronika berpindah dari teknologi analog ke digital, sekaligus pengembangan industri komponen dan industri pendukung lainnya;
5. Negara harus membangun Bank khusus yang mendanai proses industrialisasi, seperti Bank Industrialisasi Nasional (BIN) yang dibentuk Bung Karno era tahun 1960-an. Selain itu, pemerintah tetap harus mendorong fungsi intermediasi antara perbankan dan sektor real. Saat ini perbankan swasta sudah 65% dikuasai asing, artinya sangat susah mengharapkan peran mereka dalam menggerakan industri nasional;
6. Setiap pemberian ijin pada investasi yang beroperasi di sektor hulu harus disertai persyaratan; pembangunan industri pengolahan agar bahan mentah ekstraktif tidak lansung diekspor ke luar negeri
7. Menghapuskan pungli dan segala bentuk “uang pelicin” yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi sektor industri. Reformasi birokrasi harus diarahkan pada pembentukan KPK hingga kabupaten;
8. Menjamin pasar bagi produk industri tertentu, menerapkan proteksi terhadap jenis komoditi yang masih memiliki daya saing rendah dengan memberlakukan pajak dan cukai yang tinggi pada jenis komoditi yang sama, yang diimpor dari luar negeri;
9. Mendorong pengembangan sumber daya manusia yang terampil dengan menggratiskan biaya pendidikan di seluruh jenjang pendidikan. Menggalakkan penelitian untuk pengembangan teknologi baru di Universitas.



C. Program Strategis (Tripanji Persatuan Nasional):

1. Menasionalisasi industri pertambangan asing dan perusahaan-perusahaan strategis yang dikuasai asing;
2. Penghapusan utang luar negeri;
3. Industrialisasi nasional untuk kesejahteraan rakyat;
Continue Reading...
 

Blogroll

Site Info

Text

CERDAS POS Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template