Oleh: Ahmad Saleh Muslimin
Pendidikan adalah suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup yang efektif dan efisien. Pendidikan itu lebih dari sekedar pengajaran, membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara individu-individu
– Prof. Dr. Azyumardi Azra
Pernahkah Anda melakukan perenungan sekali saja tentang pendidikan di Indonesia atau sekedar membuat komparasi perjalanan pendidikan Indonesia dari periode ke periode? Mungkin ada sebagian dari kita melakukan itu. Sebuah perenungan yang bukan saja dilakukan oleh para pemikir pendidikan bahkan juga elemen masyarakat di grass root sebagai bagian integral yang turut membentuk citra pendidikan di Indonesia. Sepintas lalu kita boleh jadi mengatakan, secara lokal partikular di tempat kita berdomisili, semua proses pendidikan berlangsung wajar. Namun tak dapat kita pungkiri saat kita melihat pemberitaan di media massa ternyata masih banyak masyarakat yang belum tersentuh pendidikan atau kita boleh menyebut mereka sebagai yang termarjinalkan dari hak-hak memperoleh pendidikan. Gambaran tersebut, mungkin dalam pemahaman saya, hanya satu dari sekian banyak potret buruk pendidikan Indonesia yang kalau disebutkan satu per satu akan membuka ‘aib’ entitas pendidikan di negara kita.
Berbagai masalah berdatangan menyapa pendidikan Indonesia. Pertama, dan menyolok, sebagai contoh, standar pendidikan di Indonesia tidak mampu memberikan feedback sebagai output pembelajaran bagi mereka yang sudah menamatkan pendidikannya. Sebagai bukti angka pengangguran membludak bahkan hingga puluhan juta. Data belakangan tahun ini, dikeluarkan oleh presiden SBY dalam pidato tahunannya, menunjukkan angka pengangguran di Indonesia mencapai kurang lebih sebelas juta jiwa. Menurut presiden, angka itupun sudah lumayan lebih baik dari tahun-tahun kemarin. Tetapi lagi-lagi, bahasa rakyat berteriak, pengangguran tetap pengangguran. Kita bicara soal angka sebagai realitas. Ironisnya pengangguran kebanyakan berasal dari mereka yang mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi. Ternyata pendidikan Indonesia belum mampu memandirikan manusia-manusia Indonesia. Kedua, hal yang menyangkut persoalan kurikulum pendidikan Indonesia. Kurikulum dibuat bukan untuk memenuhi kebutuhan sang siswa tetapi sekedar mengejar target yang ingin dicapai pemerintah tanpa mempertimbangkan aspek baik buruknya kurikulum tersebut ketika akan diterapkan. Bahkan yang terjadi Kurikulum senantiasa berganti-ganti. Setiap pergantian menteri ‘baju’ kurikulum kita ikut-ikutan ganti. Sampai-sampai Hasan Pora, dalam bukunya Selamat Tinggal Sekolah, berujar bahwa kurikulum akan diubah bila menteri pendidikan lengser. Terkait soal kurikulum tersebut, kita mempunyai nomenklatur yang cukup banyak untuk menyebut kurikulum antara lain Kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, dan, yang lagi in, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Tak tanggung-tanggung untuk perumusan sekian kurikulum tersebut serta aplikasinya ke sub institusi pendidikan di daerah mampu menyedot dana milyaran rupiah namun hasil nihil –biaya operasional lebih besar dari hasil yang ditawarkan. Ketiga, Pemerintah hanya terkonsentrasi pada penambahan jumlah unit sekolah sebagai representasi institusi pendidikan. Yang terjadi adalah lembaga pendidikan di negara kita tidak tertata dengan baik. Sekolah-sekolah banyak berdiri di mana-mana, khususnya di daerah perkotaan. Bahkan di satu wilayah yang berdekatan, sekolah misal SD –SMP bahkan SMA– terdapat dua sampai tiga sekolah sekaligus (maksud saya dua atau tiga sekolah SD, SMP, dan SMA). kenyataan ini tidak memperlihatkan adanya aturan yang baik dalam pemberlakuan pendirian institusi pendidikan. Pendirian ini, menurut hemat saya, hanya menambah biaya operasional pendidikan pemerintah tanpa memperhatikan kualitas produk lembaga pendidikan itu. Banyak sekolah berdiri tapi sayang tidak diimbangi dengan peningkatan mutu pendidikan. Sebagai solusi antitesisnya, alangkah baiknya pemerintah memperbanyak institusi di daerah pedalaman yang hampir tidak tersentuh pendidikan. Bahkan kalau perlu untuk menjangkau akses pendidikan ke masyarakat-masyarakat tersebut pemerintah boleh mendirikan lebih dari satu sekolah. Sehingga semua masyarakat merasakan nikmat memperoleh pendidikan. Sudah saatnya pemerintah merealisasikan utang-utang lamanya –program WAJAR (Wajib Belajar) 9 Tahun– kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali.
Agaknya untuk mendaftarkan dan mendiskusikan berbagai permasalahan pendidikan Indonesia tidak akan cukup hanya dengan satu artikel pendek ini. Yang jelas tiga hal tadi bisa bertambah tergantung dari segi mana Anda memandangnya. Satu hal yang menjadi impian kita bersama adalah pemerintah mau melihat kekurangan ini sebagai cambuk yang mengingatkan mereka akan tugas-tugas mereka memformulasikan pendidikan Indonesia yang baik. Menata ulang definisi pendidikan adalah hal yang, tidak bisa tidak, pemerintah harus lakukan. Pendidikan yang oleh Prof. Azyumardi bertumpu pada perhatian generasi-generasi penerus yang kedepan akan membangun bangsa ini. Mau tidak mau, yang muda-muda-lah yang akan memerintah nantinya. Untuk memerintah, tentunya diperlukan orang-orang yang matang, dengan pendidikan yang mapan dan memapankan. Paling tidak untuk mencapai tujuan itu, dalam kacamata pendidikan, pemerintah harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, alokasi biaya pendidikan harus dimaksimalkan. Siapapun tahu!; saya, Anda, dan pemerintah tahu dan itu sudah merupakan rahasia umum kalau alokasi pembiayaan pendidikan masih di bawah yang diharapkan –angka yang disebut pemerintah baru sekitar 5 %. Angka yang lumayan jauh dari anggaran yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 20 %. Harapannya dari pemaksimalan dana ini bukanlah ‘pemborosan’ untuk sesuatu yang tidak berguna. Sebaliknya dari angka itu pemerintah dapat membangun pendidikan Indonesia yang kokoh, berdaya saing serta mampu tampil di dunia global. Kalau perlu bisa mendongkrak peringkat pendidikan indonesia yang konon kabarnya berada di urutan 113 setelah Malaysia dan Vietnam. Semoga ironi yang menyudutkan negara kita yang dulunya satu tingkat di atas Malaysia bisa terhapus. Kedua, perumusan Kurikulum, alangkah baiknya, memperhatikan bangunan moral, intelektualitas seta efisiensi dan keefektifitasannya guna merespon realitas bergulirnya waktu dan terpenuhinya sasaran pendidikan dalam rangka menyiapkan manusia-manusia yang mandiri materil dan spiritual. Janganlah siswa dan masyarakat menjadi korban kelinci percobaan dari pelaksanaan kurikulum yang jelas-jelas gagal. Dan yang terakhir adalah pengoptimalan fungsi guru sekaligus upaya peningkatan kesejahteraan mereka sehingga tugas mereka sebagai penjembatan transfer ilmu dan moral dapat terlaksana secara proporsional. Tentunya lagi dan lagi persoalan guru ini akan kembali kepada kebijakan pemerintah. Kalau tidak ada guru siapa yang akan mencerdaskan bangsa ini. Kalau sudah tidak ada mereka berarti janji pemerintah untuk mencerdaskan bangsa yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 hanya bohong belaka, atau bahasa kerennya gombal wal bullshit.
* Penulis adalah wartawan Majalah PENDAPA Tamansiswa UST
Pengguna:Azkha272
3 menit yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar