08 Mei 2008

Jalan Panjang Pers Indonesia

Oleh : Engkos kusnadi, Jahratul jannah, Salwiayanto

Perjalanan Pers menuju kebebasan telah dilewati tahap yang tak sedikit dari harta sampai nyawa, kini menjaga dan melanjutkan akan menjadi berat ketika tidak dengan kebersamaan. Pers membutuhkan rakyat untuk tegaknya keadilan sosial (Demokrasi).
Relitas dalam kurun waktu enam tahun menunjukan fenomena yang mencengangkan dan menggoncangkan jagad publik Indonesia, jatuhnya Soeharto dan berjalannya masa Reformasi menjadi saksi perjalanan menuju satu harapan kebebasan pers yang selama masa ‘jahiliah’dulu mencengkram kuat arus informasi bagi rakyat. Penelusuran yang kami lakukan dan membongkar-bongkar file lama serta memilih-milih pustaka yang sesuai bagai tema ini menjadikan kami makin bersemangat untuk mengungkap ada apa dengan kebebasan pers Indonesia ? yang menurut beberapa jurnalis, baik dalam dan luar negeri yang ditemui tim fokus mengatakan bahwa tubuh pers yang mulai bebas ini perlu terus dipoles dipercantik dan dipelihara agar lebih subur dan menjadi satu kekuatan bangsa.
Mengawali ketegangan ini, apa sebenarnya itu ? pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakaan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan tulisan, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia. Dari devinisi baku ini ternyata pada praksisnya terjadi pergolakan, pertentangan dan bahkan debat table yang tak berkesudahan dalam mengituti arus jaman yang makin bergerak maju.
Titik Nol Pers Indonesia
Dalam buku Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia yang merupakan hasil penelitian para ahli pers dari tahun 1976-1978. dapat terbaca bagaimana pers Indonesia melewati fase-fase dalam peranannya di masyarakat, buku yang sempat dilarang beredar karena untuk kepentingan penguasa pada saat itu (Menteri Penerangan ) , tapi kini dapat dicari dan kita ambil manfaatnya.
Pers Indonesia pada masa-masa awal mempunyai ciri-ciri khusus berhubung dengan keadaan masyarakat, kebudayaan, dan politik. Dalam pertumbuhannya mencerminkan struktur masyarakat yang majemuk, apalagi dengan adanya golongan-golongan penduduk yang terpisah satu sama lainnya. Golongan penduduk Belanda, Tionghoa, Arab, dan India, yang pada saat itu penduduk Indonesia sendiri pada zaman kolonial berada pada batas-batas hidup kesukuan, sehingga medianyapun merupakan pendukung berbagai ideologi. Tercatat beberapa nama media pada saat itu seperti ; Li Po ( Sukabumi 1901-1907) , Kabar Perniagaan ( Jakarta 1903-1930) , Sin Po ( Jakarta, 1914-1959), Sin Tit Po ( Surabaya,1923-1942), Keng Po ( Jakarta, 1923-1957) sampai berakhirnya Hindia Belanda di Jawa terdata paling sedikit 43 surat kabar Melayu Tinghoa, 9 surat kabar Sumatra, 2 surat kabar Kalimantan dan 4 surat kabar Sulawesi. Dalam perkembanganya pers Indonesia, sebagian dipengaruhi oleh adanya usaha percetakan dan penerbitan Belanda dan Tionghoa yang sebahagian lagi karena munculnya elite Indonesia yang memerlukan media komunikasi dan hal ini sangat terkait degan perkembangan ekonomi rakyat.
Diantara pers Indonesia yang dikenal diawal perkembangannya adalah Medan Prijaji yang dipimpin oleh R.M. Tirtohadisoerjo yang mendapat julukan wartawan Indonesia pertama “ Bapak Wartawan-Wartawan Indonesia” , setelah berdirinya organisasi Budi Oetomo, Sarekat Islam dan Indische Partij yang masing masing menerbitkan media, pada saat itu pers Indonesia memusatkan perhatian pada masalah yang timbul dalam masyarakat kolonial dan membela kepentingan nasional. Ia adalah merupakan pers nasional yang berlawanan dengan kepentingan pers kolonial. Pers pada waktu itu memang membawa suara organisasi politik, lihat saja beberapa media seperti De Locomotif dan Bataviaache Niewsblad yang memuat surat edaran persiapan-persiapan kongres pertama Boedi Oetomo 1908, Majalah Jong Indie, Tropisch Nederland, Kolonial Tijdscherif dan Java Bode di Sarekat Islam, Darmo Kondo yang merupakan kabar utama di Jawa. Di Surabaya terbit Oetoesan Hindia yang dipimpin oleh Tjokroaminoto, Sosrobroto dan Tirtodanudjo ada juga Sinar Djawa di Semarang, Pantjaran Warta di Betawi dan Saroetomo di Surakarta.
Dengan Berdirinya Indische Partij hadir majalah dua mingguan Het Tijdscherift dan surat kabar De Expres, ini penting artinya dalam rangkaian pers nasional. De Expres terbit pertama kali 1 Maret 1912 beberapa bulan sebelum Indische Partij resmi berdiri 12 Desember 1912, didalam dua media itu terdapat tulisan Douwes Dekker yang lihai dan mahir memainkan kata-kata dalam setiap tulisannya hingga menjadi contoh surat kabar Bumi Putra. Walau dalam bahasa Belanda tapi isinya berhubungan dengan masa depan Hindia Balanda (Indonesia). Tidak ketinggalan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang mampu membawa pikiran kritis, tenang dan terarah sehingga membuat pembaca tulisannya terkagum-kagum. Setelah terjadi pembuangan ketiga pemimpin Indische Partij ke Nederland. Tjipto Mangumkusumo mendirikan De Indier (1913-1914) dan R.M. Seowardi Seorjaningrat (Ki. Hadjar Dewantara) dengan majalah Hindia Poetra (1916) berhasil mempertahankan arah dan gerak perjuangan mereka, mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI) menambah jumlah surat kabar yang akhir tahun 1926 tercatat lebih dari 20 penerbitan PKI. Media Pers yang membawa suara-suara nasionalisme Indonesia ialah majalah para mahasiswa di Nederland yang melambungkan kata Indonesia seperti dalam kata pengantar nomor wahid Indonesia Merdeka (IM) pada tahun 1924. dengan terbitnya dua bahasa yang bercita-cita kesatuan bangsa Indonesia sebagai tujuan Perhimpunan Indonesia (PI), pada saat terjadinya masa penggeledahan dan tindakan penyotaan dokumen-dokumen PI ternyata diketahui Indonesia Merdeka mencatat 280 langganan, 236 orang Indonesia, sedangkan 44 orang tersebar di Nederland, Jerman, India, Mesir, Malaya, Prancis. Dengan pergerakan mereka di media yang turut mengembangkan nasionalisme Indonesia terus mendapat ruh dihati rakyat dunia.
Sejarah mencatat gerilya para pekerja pers selama beberapa kali perpindahan kekuasaan baik waktu penjajahan kolonial maupun pasca kolonial tidak terlepas dari tekanan dan penyempitan ruang gerak pers untuk memberitakan informasi yang benar kepada rakyat. Disamping itu pers berusaha mendidik dalam rangka pembangunan nasional, dengan beragamnya aliran dan ideologi yang dianut pers sebagai platform/garis politik menambah luas wacana dalam memperkaya khasanah pengetahuan rakyat.
Pers Indonesia kini
Dilihat dari pola dan bentuk karakternya pers pada suatu negara banyak dilatar belakangi oleh falsafah dan ideologi negara tersebut, dimana tercermin jelas pada produk perundang-undangannya yang mengatur sistem politik dan kebijakan informasi. Dalam prakteknya tidak menutup kemungkinan banyak negara yang menyatakan sebagai negara demokratis dalam kenyataannya jusru bertentangan dengan sendi-sendi demokrasi serta tidak memberikan perlindungan akan Hak Asasi Manusia (HAM). Keadaan semacam itu yang terjadi di Indonesia pada masa orde baru dalam kurun waktu 1966-1998, pemerintah melakukan pengekangan dan praktek destruktif serta otoriter dengan tidak pandang bulu termasuk akan kebabasan pers untuk memberikan informasi yang benar kepada rakyat.
Awalnya ketentuan dasar yang mengatur pengeluaran pendapat dan kegiatan pers tercantum/diatur dalam pasal 28 UUD 1945, ketentuan ini dijabarkan dalam ketetapan MPR mengenai GBHN dan Undang-Undang Pokok Pers. Sejak tahun 1966 ketentuan penyelenggaraan pers dituangkan dalam UU No.11 tahun 1966, diperbaharui dengan UU No.4 tahun 1967, dan terakhir diperbaharui dengan UU No. 21 tahun 1982. dalam UU No.21 tahun 1982 diatur masalah yang fundamental bagi kehidupan pers, yaitu :
1. hak pers melakukan kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat konstruktif.
2. sensor dan pembredelan tidak dikenakan terhadap pers nasional.
3. kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin.
4. untuk mengusahakan penerbitan pers dan mengelola badan usahanya tidak memerlukan surat izin terbit.
Undang-Undang ini secara operasional dikendalikan oleh peraturan Menteri Penerangan No. 01 tahun 1984, secara legal formal pers mempunyai kebebasan menjalankan kegiatan jurnalistiknya akan tetapi pendapat pers harus bertanggungjawab. Ide dan keinginan awal yang baik dan bagus sangat disayangkan tidak adanya pembahasan dan analisa akan batasan kebebasan yang bertanggungjawab itu, yang pada akhirnya digunakan sebagai alat pemerintah atau kekuasaan untuk bertindak seenaknya dan semaunya sesuai kehendak pemegang tongkat komando ‘sang pangeran’.
Korbanpun berjatuhan seperti satu musim gugur di negara Eropa, dari mulai pembatalan SIUPP yang dilalami surat kabar Sinar Harapan dan Prioritas, Tabloid Monitor, Majalah Tempo, Editor, dan Detik. Selain itu masih banyak tindakan kekerasan sampai penculikan yang hampir dipastikan terkena terhadap wartawan ‘journalist’, hal itu menambah panjang daftar tindakan tidak bersahabatnya kekuasaan terhadap pers Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya lewat Undang-Undang RI nomor 40 tahun 1999 tentang Pers Presiden Republik Indonesia pada waktu itu B.J. Habiebie dalam pertimbangannya mengatakan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Dalam kehidupan yang demokratis pertanggungjawaban kepada rakyat harus terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang trasparan berfungsi untuk mencapai keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencardaskan kehidupan bangsa. Pers nasional sebagai wahana komunikasi masa, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan danpaksaan dari manapun. Lewat Undang-Undang yang baru inipula maka UU Nomor 11 Tahun 1966 sebagai ketentuan-ketentuan Pokok Pers yang diubah dengan Undang-undang perubahnya Nomor. 4 Tahun 1967 serta diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak berlaku lagi. Dalam peraturan ini ada beberapa hal yang prinsif yang menjadi sorotan tajam banyak kalangan yaitu Bab II Pasal 4 ayat 2 yang berbunyi ‘ terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran.’ Kalimat ini pula yang mengundang banyak tanggapan dari beberapa pihak padahal jika dilihar dan membaca pers di negara yang ingin menjalankan pemerintahanya dengan landasan demokrasi, pers menjadi salah satu pilar kuat penopang untuk jalannya laju demokrasi di suatu negara. Kekhawatiran yang berlebihan dari beberapa kelompok orang yang akhirnya diungkapkan tidakl dengan semestinya sesuai dengan jalur hukum yang telah berlaku. Pun demikian pemerintah beberapa contoh kasus ternyata dalam menyelesaikan kasus pers masih memakai KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) padahal seperti di tulis oleh Hinca IP Pandjaitan anggota Tim Ombudsman Jawa Pos Group bahwa UU Pers adalah lex specialis terhadap KUH Pidana terhadap karya-karya jurnalistik wartawan. Diluar itu KUH Pidana tetap berlaku kepadanya secara secara individu yang melanggar hukum. Apabila karya jurnalistik itu salah hukumannya dengan menggunakan KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia) seperti butir ke-7 KEWI secara tegas menegaskan “ Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani hal jawab “ atau mengadukannya melalui Dewan Pers.
Disamping itu pula yang perlu diperhatikan masyarakat bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara (Pasal 4 Bab II ayat 1) sehingga ketentuan pidana seperti tercantum dalam Bab VIII Pasal 18 ayat 1 berbunyi : Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan bangi publik tidak usah syindrom akan pers bebas bahwa perusahaan pers juga apabila melanggar seperti Pasal 2 : Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan Pasal 3 menyetakan : Perusahaan pers yang melanggar ketentuan pasal 9 ayat (2) dan pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) memang hal ini yang masih memberatkan bagi pers tapi dari sini dapat dijadikan warning/peringatan akan profesionalisme wartawan dan pers pada umumnya dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya. Jacob Oetama memberikan masukan bahwa kebabasan pers tidak bisa lain kecuali harus disertai kompetisi profesional, professional competence . Dengan kompetisi profesional pers memperoleh kredibilitas dan authority, wibawa, dipercaya dan bisa dijadikan acuan. Etika yang telah disepakati sebagai perilaku profesional merupakan bagian penting dari professional competence.
Sebuah Harapan Pers Bebas
Sejalan dengan berjalannya waktu dan beralihnya kekuasaan dari Soeharto ke Prof. Dr. B.J. Habiebie 21 Mei 1998 silam, pandangan mengenai peranan pers turut mengalami perubahan. Peraturan Menpen No. 01 tahun 1984 dicabut dengan peraturan Menpen baru No.01 tahun 1998, sehingga pers nasional mulai memperoleh kebebasan menjalankan aktifitas jurnalitiknya, disamping itu ada harapan kebebasan dari tekanan dan ancaman dari pihak luar yang mengganggu dalam menjalankan tugasnya. Sama halnya seperti ditulis M. Simaremare (dosen dan peneliti di beberapa Universitas) dalam buku Humanisme dan Kebebasan Pers bahwa pencabutan sanksi pembatalan SIUPP dengan sendirinya menempatkan pers nasional pada jalur menuju pers yang bebas dan merdeka (free and liberated press) mengingat penerbitan pers yang eksis pada era ini merupakan penerbitan yang didirikan berdasarkan SIUPP pada masa orde baru, maka penyajian pers tetap memperhatikan tanggungjawab serta tidak melupakan tata krama, tata cara dalam koridor profesionelisme kewartawanan. Ini merupakan otokritik dan sekaligus petunjuk bagi kalangan pers.
Kebebasan pers tidak terlepaskan dari faham kebebasan berpikir , berpendapat, berbicara. Riwayatnya dari sejarah politik panjang, yang biasanya dimulai dari John Milton tahun 1644, Voltaire, Thomas Jefferson dan lain-lain. Faham kebebasan berkaitan dengan sistem politik yang berlaku. Maka pernah dikenal 4 teori kebebasan pers : pertama, Otoritarian, dua, Libertarian, tiga, Marxis-Leninist, empat, Tanggng Jawab sosial. Dalam negara yang mempunyai konstitusi tertulis, faham kebebasan pers termasuk yang dicantumkan. Di Amerika Serikat terkenal apa yang disebut First Amendment. Pada Undang-Undang Indonesia yang tertulis di Pasal 28.
Membahas tentang profesionalisme pers kita dapat mengingat tulisan Jacob Oetama seorang begawan pers dan ‘juragannya’ KOMPAS yang menulis dalam buku PERS INDONESIA ‘Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus’ bahwa sesungguhnya ‘ kita berkomunikasi dalam masyarakat tidak tulus’ , kita diingatkan akan makna komunikasi pada sarinya. Lewat komunikasi yang serba berbeda itu, berbeda latar belakang, pengalaman, pemahaman, berbeda sudut pandang dan kepentingan justru akan membuat comunist, bersama. Dari itu semua diusahakan tercapai pengertian bersama atau sekurang-kurangnya saling pengertian. Terjadinya distorsi komunikasi sesungguhnya tidak hanya dari sang komunikator, bisa juga dari komunikan. Gangguan pada medium/perangkat komunikasi terkadang pula yang menyebabkan distorsi. Berbicara tentang distorsi dari pers sebagai akibat langsung dari kebebesan pers yang tidak hanya berdampak positip dengan bertambahnya jumlah penerbitan dan terhadap pelaksanaan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan yang sehat. Disisi lain ada negatif yang sebagai contoh dalam upaya meraih pembaca, banyak penyajian yang menyajikan berita yang sensasional, menggemparkan, dan bahkan menakutkan yang lajim dikenal dengan sebutan scare headline dan bahkan berdasarkan opini wartawan, sehingga cenderung evaluatif, subjektif, dan konklusif dan tidak faktual. Ini pula yang harus diakui oleh pers. Mungkin berawal dari kenyataan ini dapat dikatakan bahwa pengelolaan penerbitan pers belum seluruhnya dapat dijalankan dan menjaga kebebasan pers yang dimilikinya kebebasan mengumpulkan, mengolah, menyiarkan berita tidak dipakai untuk menegakan nilai-nilai dasar demokrasi, keadilan dan kebenaran karena banyak yang hanya mengejar keuntungan usaha dan pemilik modal tanpa memperhatikan etika jurnalistik masih tulis M. Simaremare sebagai otokritik bagi pers.
Lain halnya dengan tulisan Atmakusumah mantan Ketua Dewan Pers dalam buku yang sama tentang kekebasan pers beliau mempunyai cara khusus sebagai tameng bagi kebebasan pers yaitu dengan pelembagaan Swakontrol dan Profesionalisme dengan berberapa alasan bahwa model pers yang kompromi untuk tetap survived selama orde baru dan orde lama yang justru akan melenyapkan independensi redaksional media pers, padahal independensi redaksional merupakan tiang agung yang menjadi tumpuan bagi setiap media pers untuk menegakan kredibilitas dan martabatnya. Sebagai akternatif lainya adalah menolak kompromi dengan campur tangan pihak luar manapun terhadap prinsip independensi kebijakan redaksional baik dari pemerintah, pemasang iklan atau pemilik modal. Pers adalah pers dia mempunyai mekanisme kerjanya sendiri sesuai dengan standar profesional dan kode etik jurnalistik yang menjadi pegangan para wartawan diseluruh dunia. Adanya upaya campur tangan, upaya pembelokan sandar profesional dan tindakan kekerasan terhadap pers beliau anggap sebagai pelecahan terhadap kredibilitas media pers atau bahkan akan memerosetkan martabat sampai titik terendah.
Yang terjadi setelah Soeharto tumbang kini di era reformasipun sebenarnya tidak menampakan perbaikan akan kualitas simbiosis mutualisme antara masyarakat/ public dengan pers dalam mengusung kebebasan pers. Masih adanya masyarakat terorganisasi dan tidak menganggap media pers tertentu tidak penting sebagai sarana yang dapat dugunakan untuk mengumandangkan hak dan apresiasi mereka. Adanya media pers yang seoleh tak dihargai ; fasilitas kantornya dirusak, pekerjaan redaksi diganggu atau siarannya dihentikan karena kelompok-kelompok masyarakat itu tidak menyenanginya seperti yang terjadi dengan kasus majalah TEMPO dengan ‘kaki tanganya’ Tomy Winata. Beliau berpendapat bahwa masalah yang terjadi terhadap wartawan dan pers harus diselesaikan dengan jalur hukum dengan demikian pers tidak dipandang seolah-oleh membenarkan tindakan kekerasan yang tidak dibenarkan oleh hukum. Sebenarnya kalau kita mengetahui dan menyadari bahwa demokrasi memerlukan kebebesan berekspresi dan karena itu juga memerlukan kebebesan pers seperti yang telah diuraikan diatas, sistem politik yang bersendikan kedaulatan rakyat maka rakyat memilih, rakyat juga berpartisipasi dalam proses politik. Dan untuk itu semua butuh perangkat yang diantaranya media massa.
Kebebasan pers yang diperlukan kita seperti yang oleh Dr. Robert A. Dahl dikatakan sebagai “ the avaibility of alternative and indevendent sources of information “ (Democracy, hal 97) yang ditulis dalam buku PERS INDONESIA ‘Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus’ karya Jacob Oetama. Lantas apa yang harus terus dibenahi oleh pers dan masyarakat dalam hubungan di masa transisi ini ? kesan adanya eforia dan hiruk pikuk yang terjadi saat ini harus ditanggapi dengan bijaksana, pers diharapkan berfungsi memelihara, mengantar dan menjaga proses transisi mencapai tujuannya, tugas inilah yang harus terus dirumuskan serta dijabarkan serta dikembangkan bagaimana sosok frame, sosok atau format kebijakan editorial pers. Tentu disertai dengan sikap independensi, konpetisi profesional dan pengahayatan kode etik profesi. Etika, misalnya menurut John C. Merrill dari Missouri School of Journalism, ‘ has to do with duty, duty of self and duty to others ‘ (Ethis and the Press, “Reading in Mass Media Morality,” John C. Merrill and Ralph D. Barney,1975). Etika yang bermuka dua, kewajiban terhadap diri sendiri dan kewajiban terhadap orang lain, menunjukan posisi setiap orang sebagai insan individual dan insan sosial. Dengan adanya etika semuanya menjadi jelas bahwa jika hukum datang dari luar maka etika datang dari dalam. Dari wartawan, pengelola pers, institusi pers. Adapun etika yang sekarang berbunyi :
Satu, Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
Dua, Wartawan Indonesia menempuh tata cara yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada sumber informasi.
Tiga, Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang dan selalu meneliti kebenaran informasi, serta tidak melakukan plagiat.
Empat, Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan sisila.
Lima, Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahguanakan profesi.
Enam, Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai kesepakatan.
Tujuh, Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
Pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik ini sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.dari itulah KEWI adalah satu kesatuan dan bagian yang utuh dari UU Pers. Dalam penjabaran fungsi dan tugas Dewan Pers yaitu berfungsi menjaga kemerdekaan pers sebagai wujud hak publik untuk mengetahui
Dan memperoleh informasi serta berkomunikasi. Mengawasi kemungkinan penyalahgunaan profesi dan kemerdekaan pers, menjadi mediator untuk membantu menyelesaikan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pemberitaan pers yang merugikan publik. Yang terpenting menurut informasi yang kami dapatkan lewat situs Dewan Pers bahwa dewan pers yang indefenden yang lahir dalam semangat reformasi, bersifat mandiri dan tidak ada lagi unsur pemerintah dalam kepengurusannya. Dengan dukungan masyarakat pers Indonesia, otoritas Dewan Pers semata-mata terletak pada kemauan perusahaan dan redaksi media pers untuk menghargai pandangan Dewan Pers serta secara sukarela mematuhi kode etik jurnalistik dan mengakui kesalahan, sengaja atau tidak secara terbuka.
Disisilain perangkat yang menjadi penunjang dari terlaksananya etika tersebut sampai sekarang masih dilematis akan eksistensinya ; Tim Ombudman, Media Watch, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) masih tetap harus terus membenahi diri dan memberikan nuansa komunikasi yang diharapkan terjalin dengan menjunjung kebebasan berpikir dan berpendapat dan pada akhirnya pers menjadi bagian terpenting bagi tumbuh kembangnya demokrasi di Indonesia ini. Ada pendapat yang ditulis Jacob Oetama dalam bukunya bahwa kedepan pers harus melakukan beberapa pembenahan diantaranya :
Mempersiapkan dan mendewasakan masyarakat serta pemerintah (the governance) sehingga secara aktif kreatif mempu menyongsong serta memanfaatkan semakin hadirnya open society dalam kawasan nasional, regional maupun global.
Terutama bagi masyarakat yang majemuk, peranan pers sebagai forum dialog dan jembatan bagi kelompok dan kepentingan menjadi semakin strategis. Peranan itu menuntut kecuali pandangan dan perilaku yang sesuai dengan code of conducts juga semakin memerlukan pengetahuan, kecakapan, serta keuletan pers.
Pers dituntut lebih cekatan dalam mengidentifikasikan persoalan-persoalan yang mendesak dilingkungan naional, regioal dan global agar dapat melakukan peranan sebagai pemberi early warning serta membangun sikap masyarakat yang proaktif dan antisipatif .
Pers menjadi wahana dialog dan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat agar penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan bangsa terus meningkat maju dan sekaligus terselenggara bentuk budaya dan cara pemerintahan yang kecuali menjamin hak-hak demokrasi juga tetap mampu get things done.
Kerja sama regional, baik antar pemerintahan maupun lewat jaringan (networking) masyarakat dalam kegiatan ekonimi dan lain-lain, merupakan jaminan keamanan, stabilitas serta kemajuan. Karenanya, pers terpanggil untuk memperkukuh kerja sama regional.
Kemajuan ekonomi yang luar biasa memberikan makna bagi kepenuhan hidup masyarakat, manakala aspirasi sosial budaya juga memperoleh tempat dan tanah yang subur.
Dari semua uraian, masukan, kritik yang terjadi di masa transisi ini akankah dimanfaatkan oleh segenap insan pers dan masyarakat. Walahu allam masih memerlukan waktu yang lama bagi jalannya proses kearah tujuan bersama yaitu masyarakat yang memahami dan mengerti akan hakikat perbedaan yang indah ini. Akankah pers terus dalam posisi bertahan dan tiarap bila terus diperlakukan dengan tidak etis dan tidak beradab ?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kelas XII IA-3
arin kurniasari
mulya dewi
perdana a.m
risky s.a
risza ashari

Menurut kami..
pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakaan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan tulisan, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
pers merupakan media pendukung waktu indonesia berada pada zaman kolonial.
Dilihat dari pola dan bentuk karakternya pers pada suatu negara banyak dilatar belakangi oleh falsafah dan ideologi negara tersebut, dimana tercermin jelas pada produk perundang-undangannya yang mengatur sistem politik dan kebijakan informasi.
Dalam kehidupan yang demokratis pertanggungjawaban kepada rakyat harus terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang trasparan berfungsi untuk mencapai keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencardaskan kehidupan bangsa.
Pers nasional sebagai wahana komunikasi masa, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan danpaksaan dari manapun.
jadi pers sangat dibutuhkan sebagai media pendukung berbagai ideologi baik di indonesia maupun di luar negeri.

Posting Komentar

 

Blogroll

Site Info

Text

CERDAS POS Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template