11 Juni 2008

UERO 2008: PENENANG GUNDAH DIKALA SUSAH

UERO 2008: PENENANG GUNDAH DIKALA SUSAH

Kembali perhelatan akbar bola dunia di gelar. Perhelatan yang berlangsung di dua Negara Eropa benar-benar membius para pencinta bola di seluruh dunia, kejuaraan empat tahunan ini nyaris melupakan sejenak segenap himpitan beban hidup yang saat ini dirasakan oleh sebagian besar masyarakat indonesia, kenaikan harga bahan bakar minyak yang selangit seakan bisa hilang sesaat dengan riangnya menonton laga bola dunia bersama keluarga ataupun teman sejawat.

Event yang berlangsung selama 23 hari dengan 31 pertandingan dan diikuti oleh 16 negara ini semakin menyita perhatian publik, satu peluang baru sebenarnya telah menunggu didepan mata, Bagi masyarakat Indonesia yang notabenenya saat ini tengah dilanda sejuta masalah, dengan adanya event bola dunia EURO dapat dimanfaatkan dalam meraih peluang bisnis, untuk kembali membuat dapur ngebul. Ditengah himpitan hidup yang kian menyiksa akibat melambungnya harga bahan bakar minyak saat ini, dari event bola masyarakat bisa menarik benang merah peluang usaha, mungkin dengan memulai membuat pernak-pernik sederhana tentang bola, membuat tempat ngopi untuk nonton bola bersama, membuat sablon kaos tim yang berlaga di uero. Atau juga peluang usaha seperti membuat stiker atau pun membuat news letter tentang para pemain-pemain yang berlaga di uero juga tim-tim kesebelasan. Coba bayangkan dari 368 pemain, 8 stadion, dan dari 2 negara tempat perhelatan akbar tersebut berlangsung pastinya akan banyak ide dan celah-celah yang dapat kita ambil sebagai peluang usaha.

Pangsa pasar terhampar luas. Ya, Peluang usaha yang dapat diciptakan nanti tentunya akan memiliki pangsa pasar yang tidak sedikit, coba kita analisa jumlah fanatik bola di negeri ini sungguh luar biasa banyaknya hampir 50% bakan bisa lebih penduduk di tiap kota dimasing-masing kota kecamatan, kabupaten, propinsi, bahkan di desa-desa di Indonesia adalah penggemar bola, berarti jelas bahwa pangsa pasar dari peluang usaha yang akan diciptakan sangatlah fantastis.

Biarlah pemerintah republik ini bermasyuk ria dengan kebijakan yang terus menyengsarakan rakyatnya, namun yang terpenting masyarakat Indonesia harus dan tetap memiliki semangat untuk bertahan hidup, kita buang keputusasaan, peluang usaha ada didepan mata, ada banyak kesempatan untuk terus berkarya, dan yang paling utama jangan sampai masyarakat terprovokasi dengan adanya konflik horosontal yang coba mulai digulirkan di Republik ini. Tidak perlu ikut-ikutan baku hantam terhadap sesama atau yang berbeda agama. Melalui ajang bola kita akurkan seluruh element masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia berhak untuk tersenyum bahagia, bukan jeritan tangis memilukan yang selalu terdengar melalui berbagai headline berita. Tolak dan jangan dengarkan jika ada provokasi-provokasi yang sengaja dilakukan melalui event, atau forum penggemar bola, sudah bukan zamannya lagi baku hantam sesama rakyat, yang perlu kita lawan bersama adalah para kaum pemodal dan elit politik busuk. yang perlu terus kita demo bersama-sama adalah rezim yang lalim dengan masyarakatnya yang telah dengan semena-mena menaikan BBM.

Ambil peluang, pilih tempat, tetapkan ide, lalu realisasikan, jadikan ajang UERO 2008 ini sebagai penenang gundah dikala susah. Jadikan UERO 2008 sebagai peluang USAHA RAKYAT, HIDUP PENGGEMAR BOLA, HIDUP RAKYAT.@ (edi cerdaspos)


Continue Reading...

Istilah-Istilah dalam Dunia Pers/Jurnalistik

Istilah-Istilah dalam Dunia Pers/Jurnalistik


  • Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak,media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.

  • Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak,media elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.

  • Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

  • Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.

  • Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.

  • Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh pers asing.

  • Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan,atau tiddakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.

  • Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.

  • Hak Tolak adalah hak wartawan karena propesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainya dari sumber berita yang harus dirahasiahkan.

  • Hak Jawab adalah hak seseorang atau kelompok orang untuk memberikan tanggapan dan sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yag merugikan nama baiknya.

  • Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

  • Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.

  • Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawannan.

  • Delik Pers adalah Delik yang terdapat dalam KUH Pidana, tetapi tidak merupakan delik yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari delik khusus yang berlaku umum.

  • Lay Out lebih mengarah ke grafis/gambar/ilustrasi/non kata atau perwajahan/tata letak, termasuk setting.

  • Setting adalah tata letak kata/permainan hurup(besar/ kecil dan bentuk tulisan )

  • Editing untuk menambah/mengurangi kata atau pembenaran kata, merupakan proses koreksi.

  • Re-Wraiting, merupakan proses penulisan ulang, baik dalam bahasa Inggris/dll, marangkum berita-berita luar negeri yang pada umumnya tidak boleh hunting langsung tapi diberitakan oleh kita (exs. Kantor berita Antara,Reuters dll)

  • Hunting, keseluruhan proses pencaharian berita/berburu berita atau photo.

  • Dead-Line, waktu akhir pengumpulan berita.

  • Koresponden, wartawan yang ditempatkan diluar daerah (ini resmi,tercatat,dll)

  • Freelance, penulis lepas

  • Quate, petikan-petikan terpenting/menonjol/membuat heboh/paling menarik pembaca yang biasanya diambil dari keseluruhan berita. Pada dasarnya, maksusnya untuk memberikan poin yang menarik bagi pembaca.

  • Caption, keterangan photo

  • Balance, berita yang berimbang antara nara sumber dengan pencari berita (harus dicari berita benar/tidak, dikonfirmasikan....)

  • Chek & Recheck, merupakan proses sebelum balance (mengcek kebenaran suatu berita )

  • Dll.


Continue Reading...

KEADAAN SOSIAL "Aksi Massa TAN MALAKA"

Aksi Massa

Tan Malaka (1926)


VI

KEADAAN SOSIAL

Kecurangan tukang waning Belanda yang sudah tiga ra­tus tahun dalam dunia imperialistis yang disebut kolo­nisator menciptakan pertentangan sosial dan kebangsaan yang satu-satunya di seluruh Asia. Di satu pihak tampak kapital yang beranak pinak dalam pertanian yang sangat modern, dengan produksi yang sangat tinggi dan dengan jalinan hubungan internasional yang bersatu dalam se­jumlah sindikat dan trust yang memberi untung yang berlipat ganda. Di lain pihak, tampak kaum tani, pedagang­-pedagang kecil dijadikan buruh. Mereka berjubel-jubel sebagai buruh industri di kota-kota dan buruh tani di ke­bun-kebun. Semua ini melahirkan kesengsaraan, perbu­dakan dan kegelisahan.

Jika pertentangan kelas yang sebenarnya menyerupai satu jurang yang tak dapat ditimbun, yang di negeri-ne­geri Barat dan Jepang menimbulkan sosialisme, anarkisme dan bolsyevisme, di Indonesia jurang itu diperdalam lagi oleh pertentangan bangsa Belanda kontra Indonesia. Pertentangan ini, meskipun bukan satu sebab yang terpenting, tetapi mungkin sekali dapat memancing perang-perang kemerdekaan. "Pertentangan" Belanda kapitalist dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda dengan negeri-negeri lain. Pertentangan ini lahir dalam bentuk yang setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan saja disebabkan oleh ketiadaan kapital modern dar bangsa Indonesia, melainkan juga oleh perbedaan agama, bangsa, bahasa, adat istiadat antara penjajah dan si terjajah.

Di negeri-negeri kapitalis yang maju, pertentangan sosial terbagi atas dua kelas: kelas kaum kapitalis dengar para pengikutnya dan kelas buruh. Kaum kapitalis ialah yang mempunyai tanah, pabrik, kereta api, kapal dan bank, dan menambah kekayaan dalam keadaan biasa dengan jerih payah kaum buruh yang tidak dibayar, yang dilukiskan oleh Marx "met de zijn kapitaal geaccumuleenk meerwaarde". Kaum buruh ialah mereka yang kepunyaan dan tanahnya dirampas oleh kapitalis. Mereka yang dulunya adalah petani dan pedagang kecil, tetapi waktu ini segala miliknya punah sama sekali kecuali tenaga, badan dan nyawa. Harga tenaga ini "tunduk" kepada turun naiknya harga di pasar tenaga. Kaum kapitalis hidup dari pemerasan dan kaum buruh dari upah kerjanya. Upah ini disebabkan oleh "undang-undang besi" dalam "tawar-menawar" di pasar tenaga — tidak dapat menutup harga kerja yang dilakukan (karena persaingan hebat di pasar tenaga dan kecemasan akan mati kelaparan, terpak­sa buruh itu menerima upah yang serendah-rendahnya).

Supaya dapat mengadakan pemerasan atas kelas bu­ruh yang jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jum­lahnya kecil, mempergunakan "senjata gaib", seperti se­kolah, gereja atau masjid, dan surat kabar, juga perkakas kelas seperti polisi, tentara, penjara, dan justisi. Parlemen, masjid, gereja, sekolah dan surat-surat kabar berdaya upaya menidurkan dan melemahkan hati buruh dengan pendidikan yang banyak mengandung racun. Bila mere­ka tak dapat berlaku seperti itu, dipergunakanlah penja­ra, polisi dan militer.

Persaingan ekonomi sesama kaum kapitalis menye­babkan timbulnya kongsi. Mereka dapat melawan mu­suh-musuhnya yang terpencil. Kalau kongsi dalam per­saingan "mati-matian" tak dapat menaklukkan lawannya, ia mencoba mengadakan kompromi. Kedua kongsi yang dulunya bermusuhan, sekarang menjadi satu sindikat. Demikianlah mereka dapat menaikkan harga barang­barangnya dengan sesuka hati, sehingga merugikan si pembĂ«li (buruh dan tani miskin).

Jadi, sindikat itu adalah gabungan dari beberapa kongsi. Akan tetapi kongsi bekerja itu menurut caranya sendiri dan merdeka seperti biasa. Supaya kekuatannya bertambah besar dan terpusat ke satu pimpinan untuk per­juangan ekonomi, dibentuklah satu trust. Jadi, sindikat mempunyai banyak ketua, sedangkan trust seorang saja, dan begitu juga cara kerjanya, sebuah trust dapat secara lebih sempurna menguasai pasar dunia daripada sindikat.

Di pasar negeri-negeri Barat, terutama Amerika, kita lihat sejumlah tambang arang, industri besi, pabrik-pab­rik minyak dan maskapai kapal yang dulunya terpecah-­pecah sekarang bersatu dalam trust yang besar, dikepa­lai oleh raja-raja trust. Kita dengar nama-nama seperti Mor­gan Raja Bank, Rockefeiler Raja Minyak, Carnagie Raja Baja dan Ford Raja Mobil.

Di Jerman kita lihat bagaimana trust yang banyak itu diikat menjadi satu "gabungan trust". Pabrik-pabrik besi, arang dan kertas, maskapai kapal dan kereta api se­muanya tunduk di bawah pimpinan Stinnes yang baru meninggal dunia. Demikianlah, Stinnes dapat menguasai harga bahan-bahan mentah dan barang-barang pabrik, se­lanjutnya ongkos pengangkutan dan advertensi dari ba­rang-barang pabrik itu. Pembentukan trust seperti ini di­tiru pula oleh bank-bank yang menyatukan diri dari mas­kapai menjadi sindikat, dari sindikat ke trust dan dari trust ke gabungan trust.

Bank meminjamkan uang kepada industri dan perke­bunan; bank itu senantiasa bertambah kaya oleh bunga uang yang tinggi, yang dibayar oleh si peminjam. Akan tetapi, bunga uang yang tinggi itu ditarik si peminjam da­ri buruh mereka, dan si buruh menarik hanya dari keri­ngat dan tenaganya. Kepada negara, bank juga memin­jamkan uang yang mesti dibayar dengan bunga yang ti­dak rendah. Bank negara pada gilirannya menarik pajak yang banyak sekali dari kaum buruh (sebab merekalah yang terbanyak jumlahnya) untuk membayar utang itu beserta bunganya. Ke negeri-negeri asing, bank memimjamkan uangnya dengan bunga yang serupa. Bank, "benteng kapitalisme", jadi penguasa industri, pertanian dan pemerintahan suatu negeri, dan dengan penanaman modal di negeri asing itu, ia juga menguasai negeri-negeri itu.

Supaya tetap memperoleh bunga, maka ia jugalah yang mengangkat dan memberhentikan kepala-kepala industri, ahli negara dan ahli politik, dan langsung atau tidak menggaji atau menyuap mereka. Dengan adanya trust maka ditaruhnya pimpinan perusahaan bank ke tangan beberapa bankir. Jadi, bangkirlah pada hakikatnya yang jadi pemimpin industri, pengangkutan, pertanian perdagangan, negara dan politik, pendeknya masyarakat kapitalis modern.

Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, tampaklah kepada kita bahwa makin maju kapitalisme, makin sedikit orang yang berharta dan jumlah kaum buruh miskin menjadi lebih besar. Di negeri-negeri kapitalistis yang cerdas seperti Inggris, Jerman dan Amerika, jumlah buruh yang pandai dan yang tidak kurang lebih 75% dari penduduk. Jumlahnya pemangku tangan, tetapi berkapital dan produksi makin lama makin sedikit. Kekuasaan dan kekayaan mereka semakin besar. Jumlah buruh, tapi tak mempunyai apa-apa, makin lama makin banyak, dan organisasi mereka demikian pula. Pertentangan kaum pemangku tangan dengan buruh miskin makin lama semakin tajam dan akhirnya menimbulkan revolusi sosial.

Di Indonesia proses kapitalisasi itu hampir tidak berbeda dengan garis-garis besar yang diuraikan di atas. Sau­dagar-saudagar Indonesia dan perusahaan yang kecil-ke­cil sudah lama lenyap dari masyarakat.

Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan "pagi makan, petang tidak". Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak berpengharapan di belakang hari. Ke­kuasaan atas tanah pabrik, alat-alat pengangkutan dan badan perdagangan, kini semuanya dipesatkan dalam ta­ngan beberapa sindikat seperti Avros, Suikersyndikaat, Handeslvereeniging Amsterdam dan lain-lain. Pimpinan sindikat-sindikat besar itu tergantung di tangan beberapa orang kapitalis.

Pertentangan sosial antara kapitalis dan buruh di In­donesia — berhubungan dengan satu dan lain hal — le­bih tajam daripada apa yang kelihatan oleh mata. Keun­tungan besar dari gula, minyak, karet, kopi, teh dan lain-lain sebagian besar mengalir ke Eropa, ke kantong bang­sa Belanda, dan sebagian kecil ada juga kembali ke Indo­nesia, tetapi bukan sebagai kenaikan gaji buruh, melain­kan sebagai penambah "kapital" yang sudah ada, buat jadi "alat penghisap" yang baru pula. Sebagian besar ke­untungan itu ada di negeri Belanda sebagai gaji uang ver­lof atau pensiun pegawai-pegawai Belanda.

Kemalangan nasib buruh Indonesia hanya dapat di­perbaiki dengan jalan menaikkan gaji mereka yang sepa­dan (dengan memperhatikan) harga barang keperluan se­hari-hari. Dengan pembukaan beberapa kebun besar, me­mang ada kaum buruh atau penganggur yang mendapat pekerjaan, tetapi sebaliknya tanah mereka disewakan dan dijual hingga banyak petani yang kehilangan miliknya. Tambahan lagi, karena perluasan kapitalisasi itu, barang keperluan sehari-hari bertambah tinggi harganya. Sung­guh tak dapat dipungkiri bahwa kenaikan harga barang dalam sepuluh tahun belakangan ini tidak sejalan dengan kenaikan gaji buruh.

Demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab gaji mereka tetap seperti biasa (malahan ke­rapkali diturunkan), sementara barang-barang makanan semakin mahal. Dan oleh persaingan yang makin lama makin hebat, karena cacah jiwa cepat sekali bertambah­nya dan kuat, berkuranglah kepastian akan mendapat pe­kerjaan.

Jika kaum kapitalis itu bangsa Indonesia, tentulah ke­miskinan dan kemelaratan tak akan sepedih itu sebab si­sa keuntungan yang sangat banyak itu mungkin dilem­parkan pada rakyat. Gaji buruh boleh jadi dinaikkan; pe­ngajaran, koperasi rakyat, industrialisasi dan kesehatan mungkin diperhatikan dan diperbaiki. Sekarang tak se­mua itu terjadi, sebab untung yang berlipat ganda terus menerus diangkut dari Indonesia keluar negeri.

Selain dari proses pengeringan ini, pertentangan so­sial dipertajam oleh perbedaan bangsa dan apa saja yang bersangkutan dengan hal itu. Kaum kapitalis berbahasa lain dari rakyat dan pemerintah bukan pemerintah rak­yat. Kaum kapitalis dan pemerintah memeluk agama lain, mempunyai kesusilaan dan kebiasaan lain, serta ideo­loginya berbeda dengan rakyat. Dalam pergaulan seha­ri-hari antara kapitalis dan buruh, antara pemerintah dan rakyat, yang tersebut tadi penting sekali. Kapitalis Belan­da tidak mengenal buruhnya, pemerintah Belanda mengenal rakyatnya. Bukan dia tak ingin mengenal rak­yat.

Meskipun dia sekiranya mau berbuat serupa itu, tidaklah mudah bagi Belanda akan menyelami batin peng­huni khatulistiwa ini sebab mereka tidak menyiapkan faktor-faktor yang perlu, seperti pendidikan, bahasa per­gaulan sosial dan kepercayaan rakyat. Oleh karena itu­lah, Belanda yang katanya "sopan" kerapkali mengeluar­kan kata-kata yang kotor terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan menyukai pemerintah Be­landa. Sebagaimana Filipina yang tak langsung merasa­kan kekuasaan Gubernur Jenderal Amerika dan boleh di­katakan tidak mendapat kesusahan dari pembesar-pem­besar Amerika, masih saja terus mereka menuntut kemer­dekaannya, demikian jugalah bangsa Indonesia-selatan akan tetap menagih kemerdekaan yang mutlak dan se­luas-luasnya. Sebagaimana seorang manusia tak suka di­ganggu dan dikuasai oleh orang lain, demikian pula rak­yat. Mereka lama-kelamaan tak akan membiarkan dirinya dijajah atau dikuasai oleh bangsa lain.

Terserah kepada kita memperhatikan, apakah perten­tangan Belanda kapitalis dan Indonesia buruh akan tetap selama-lamanya atau sementara waktu saja!

Pertentangan ini lambat laun berkurang bila pemerin­tah sekarang, bukan nanti, mengadakan perubahan besar, perbaikan ekonomi, politik dan sosial yang memperbaiki keadaan seluruh rakyat Indonesia.

Hak ini hanya terjadi dengan mendirikan industri ba­ru (kapas, karet, pabrik-pabrik mesin, perkapalan, tam­bang dan lain-lain), membuka pertanian besar-besar dan memperbanyak jalan-jalan raya, mendirikan koperasi rakyat dengan bunga yang rendah, memberi bantuan pi­kiran dan bahan kepada kaum tani, tanah kepada bekas­-bekas petani yang miskin, menaikan gaji buruh dan mengurangkan jam bekerja, meringankan atau menghapus­kan pajak dan membesarkan pajak perkebunan atau ke­bun-kebun besar, dan industri dijadikan hak bersama, yai­tu pemerintah, memberikan hak dalam pemilihan umum yang seluas-luasnya kepada bumiputra, mendirikan perwakilan rakyat yang "sejati" yang daripadanya dipilih sa­tu badan yang bertanggung jawab sepenuh-penuhnya ke­pada rakyat Indonesia, menghapuskan segala badan birokrasi yang tak berfaedah, seperti Raad van Indie, de Al­t gemeene Secretaris dan lain lain.

Tentu tak akan terjadi!

Setengah dari itu pun tak akan terjadi. Taruhlah secara tiba-tiba imperialis Belanda melemparkan "politik warung kecilnya" dan mempergunakan politik kolonial sesungguhnya, itu sudah terlambat! Sekali lagi terlambat! Imperialisme Belanda tak punya cita-cita, keberanian dan alat-alat untuk mengadakan perubahan yang berarti sedikit. Ia terlalu "daif" (lemah) untuk melakukannya dan tidak ada pula borjuasi bumiputra modern dapat membantunya.

Adapun "kapital luar negeri" yang bertitik-titik beberapa dollar dari wallstreet hanya seumpama beberapa butir kerikil yang dilemparkan untuk menimbuni jurang yang sangat dalam antara imperialisme Belanda dan rakyat Indonesia.

Perbaikan radikal seperti di Filipina dapat dan mau Amerika jalankan, bila ia menerima kekuasaan politik di Indonesia dari Belanda si tukang warung itu. Jika terjadi yang seperti ini, Amerika dalam waktu yang singkat nis­caya akan datang di Indonesia dengan beberapa ribu juta rupiah. Tetapi mustahil! Sebab bertentangan dengan ke­pentingan dan "kehormatan" Belanda. Sebab kapital Amerika yang besar di Indonesia akan mendesak kapital Belanda ke sisi! Dan kalau keuangan terikat, kapital Be­landa tak berarti (dan tukang warung Belanda terpaksa jadi boneka-boneka Paman Sam).

Tentu saja "Meneerge" tidak mau! Tambahan lagi yang tak kurang pentingnya, ini berarti kekuasaan eko­nomi dan politik Amerika akan bertambah besar di bagian yang strategis dan penting sekali di Pasifik. Hal itu tentulah dengan sekuat-kuatnya akan ditentang oleh Inggris dan Jepang yang dengki, dan mungkin akan menimbulkan perang dunia yang lama dan dahsyat.

Oleh sebab itu, bagi Belanda cilik yang enggan mus­nah, lebih baik ia berbuat sesukanya sambil menunggu keruntuhannya. Lagi pula, penjajah lain (Inggris, Amerika dan Jepang) lebih baik membiarkan Belanda bergumul dengan jajahannya yang mulai durhaka.


BERSAMBUNG...................
Continue Reading...

KEADAAN RAKYAT INDONESIA

Aksi Massa

Tan Malaka (1926)


V

KEADAAN RAKYAT INDONESIA

1. Kemelaratan

Berapa ribu, bahkan berapa ratus ribu rakyat Indonesia yang meringkuk dengan perut kosong di atas balai-balai setiap hari saat melepas lelahnya, tak terjelaskan dengan tepat. Pemerintah punya catatan angka-angka yang lengkap tentang kebun-kebun dan perusahaan yang menguntungkan, terutama nama-nama orang yang wajib membayar pajak, tetapi lupa memberi kepastian tentang penghidupan rakyat seluruhnya. Betul kadang-kadang dibentuk oleh pemerintah suatu panitia, tapi badan itu tak mewakili rakyat, dan tentu saja panitia itu tidak pernah mendakwa kapital besar, meskipun mencela saja. Pemeriksaan "teratur" dan "merdeka" sebagai bukti maksud-maksud yang suci, belum pernah kedengaran.

Jika kita mau tahu berapa jumlah buruh industri, kebun-kebun dan pengangkutan, tentulah dengan jalan itu kita ketahui berapa banyaknya "budak belian kolonial" yang kelaparan di Indonesia sebab sebagian besar dari buruh industri itu miskin, sebab kepada perusahaan besar-besar itu, mereka harus menjual atau menyewakan tanahnya, hingga akhirnya kehilangan tanah dan mata pencaharian.

Hal itu tidak mungkin disebabkan oleh ketakpedulian dan kelalaian pemerintah. Meskipun kita bekerja dengan angka-angka yang tak cukup, ini belum berarti bahwa keadaan rakyat Indonesia adalah buku yang tertutup bagi kita; bahkan sebaliknya tak dapat diduga bahwa dua sampai tiga juta budak yang tertindas menerima upah yang hanya cukup bertahan agar mati kelaparan. Bagian yang terbesar dari mereka berorganisasi. Mereka itu misalnya buruh kereta api, tukang sapu, kuli barang dan tukang rem, yang mulai bekerja dengan gaji f 15 — dengan satu sampai dua rupiah kenaikan setiap tahun — dan mencapai maksimum f 30 sampai f 40 sebulan apabila mereka sudah beruban. Sungguh gaji itu terlalu sedikit di zaman kapitalisme, dan hal ini sangat menyedihkan, mengingat kepada kecermatan dan tanggung jawab sekumpulan buruh itu bergantung hidup beribu-ribu manusia.

Jika beratus ribu buruh gula yang karena tak berorganisasi tidak berani meminta tambah gajinya; Jika kaum tani yang kehilangan tanah hanya bekerja beberapa bulan dalam setahun dengan gaji 30 atau 40 sen sehari, yakni di waktu memotong tebu; jika 250 sampai 300 ribu kuli kontrak — yang dinamakan "kuli merdeka" di Sumatera Timur — mendapat upah 30 sampai 40 sen sehari, siapakah yang berani mengatakan bahwa di masa ini seseorang (meskipun ia seorang inlander!), dengan anak bininya, dapat hidup sebagai manusia dengan upah 12 sampai dengan 25 rupiah sebulan? Jika ada orang yang berkata seperti itu, ia adalah seekor keledai atau lebih hina lagi adalah seorang "pengkhianat".

Tukang-tukang besi segolongan buruh yang besar gajinya di negeri-negeri lain, di Surabaya sangat rendah gajinya, tinggal seperti di kandang anjing, makanan, pakaian dan keperluan hidup lain-lain tak cukup, hingga kekallah mereka jadi mangsa lintah darat Tionghoa dan Arab. Kita masih mendengar gaji mereka antara 30 sampai 40 rupiah. Di Surabaya yang dikenal sebagai kota dagang, gaji itu berarti sekadar penghalang agar jangan sampai mati.

Siapakah nama gubernur jendral yang pada suatu hari dengan malu-malu menceritakan bahwa beribu-ribu kuli di pelabuhan Jakarta, sebab upah mereka tidak cukup untuk menyewa gubuk yang sangat dicintai oleh orang-orang Jawa? Sudah begitu memalukan dan tak menentunya nasib kaum buruh yang nota bene masih kerja itu, bagaimanakah halnya kaum penganggur yang makin lama makin banyak itu?

Dalam Verslag van de Suiker Enquete Commissie (hlm. 99) kita baca kalimat yang sangat berarti: "Agaknya setengah dari keluarga rakyat di Pulau Jawa termasuk orang yang mempunyai tanah, dan selebihnya hidup dari perusahaan dan perdagangan bumiputra ataupun bukan. Di sana tentulah beratus ribu manusia yang tak punya apa apa, yang kadang-kadang bekerja pada salah seorang peladang dan dengan tidak pada tempatnya menamakan dirinya petani". Selain itu, di kota-kota tidak sedikit orang yang bergelandangan di sepanjang jalan, makan sesuap kala pagi dan sesuap kala petang. Kita tidak mempunyai statistik yang lengkap, benar dan sah tentang berapa jumlahnya.

Tetapi siapapun yang pernah tinggal di kota gula seperti Banyumas, Solo, Kediri dan Surabaya, serta ia sungguh memperhatikan kehidupan rakyat, ia akan tercengang dengan "kesabaran" dan "kebetahan" rakyat menanggung kesusahannya, bahwa pajak jauh melewati kesanggupan penduduk, tidak asing lagi bagi orang-orang pemerintah.

Semua dan setiap yang bernyawa (meskipun dia tidak berpencaharian) mesti membayar pajak. Kutipan-kutipan dari segala pihak dapat kita cantumkan, tetapi, karena kita anggap tidak berfaedah, tak perlu kita tambahkan di sini.

(Sepintas lalu kita katakan bahwa industri besar-besar dan kongsi-kongsi perdagangan juga membayar pajak. Akan tetapi, hal itu adalah perkara perjanjian belaka, karena dengan berbagai cara, pajak itu dapat ditimpakan di atas kepala rakyat Indonesia yang melarat dan tak punya hak lagi itu).

Padoux, penasihat pemerintah Tiongkok dalam "Memorandum for the National Commission for Study of Financial Problem", menentukan bahwa setiap kepala di Filipina, Indo-Cina, Prancis, Siam, Indonesia, dan Tiongkok masing-masing membayar pajak $7.50, 8.50, 9.50, 15.50, dan 1,20.

Jadi, pajak yang tertinggi di Indonesia! yaitu dua kali Filipina, hampir dua kali Indo-Cina, Prancis, dan dua belas kali Tiongkok. Perhitungan itu diambil menurut perbandingan sebelum tahun 1923. Waktu itu masih ada "Inlandsch Verponding" — satu perbuatan hina yang tidak tahu malu — sebagaimana yang belum pernah dilakukan oleh seorang raja yang selalim-lalimnya di Jawa.

Mr. Yeekes menerangkan dalam "de Opbouw" (tahun 1923) bahwa pendapatan rakyat Indonesia pukul rata f 196 setahun. Dari pendapatan itu banyak yang harus dikeluarkan sebagai pembayar pajak, dan di luar Jawa untuk rodi pula, hingga pendapatan sebulan tinggal f 13. Satu angka yang jauh di bawah minimum. Perhitungan Mr. Yeekes ini adalah untuk seluruh Indonesia, jadi penda-patan rakyat di Jawa Tengah tentu lebih sedikit lagi.

Kita di zaman modern ini sedih dan heran melihat orang Jawa yang tinggal di pondok-pondok rombeng atau tak bertempat tinggal sama sekali, kelaparan dan berpakaian kotor compang-camping, hidup dalam iklim yang sangat membahayakan sebagai di Indonesia, kurang terawat kesehatannya, disebabkan wabah malaria, cacing tam-\bang, kolera dan sampar; "hanya" ratusan ribu yang mati di waktu penyakit itu merajalela.

Suatu keuletan yang patut dipuji!

2. Kegelapan

Masih saja "pemerintah tani dan tukang warung" Belanda takut kepada Universitas dan Sekolah Tinggi seperti kepada hantu. Masih saja belum terlepas ia dari gangguan momok "buruh intelektual". Ia sudah berbuat keliru dalam pandangan politik pengajaran Inggris dan mengambil kesimpulan yang salah. Ia terlalu bodoh untuk memikirkan bahwa berhubung dengan wawasan dan kecakapan imperialisme Inggrislah, maka dulu sudah ada kaum terpelajar di India yang pada masa sulit kerapkali membantu pemerintah Inggris, dan juga berkat adanya kelas intelektual, termasuk juga kaum ekstrimis, maka Tilak dan Mahatma Gandhi beroleh kemenangan ekonomi dengan gerakan boikotnya yang luas. Dan pula karena Inggris bekerja sama dengan borjuasi bumiputra modern, di lapangan politik dan ekonomi, maka Inggris dapat memerintah terus di India walaupun digempur oleh gerakan noncooperation baru-baru ini.

Pemerintah Belanda di dalam perdebatan selalu mengemukakan pelbagai keberatan terhadap pendirian universitas di Indonesia, yaitu keberatan yang hanya dapat diterima oleh anak-anak kecil. Semua dalilnya hanya terpakai di zaman timbulnya penjajahan dan dapat disimpulkan dalam alasan-alasan di bawah ini.

1. Bahwa pemerintah ini, sesudah menyesal, seharusnya sekarang menjadikan dirinya pendidik rakyat Indonesia dengan belanja rakyat sendiri dan sepatutnya memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada anak-anak Indonesia, jika ia tidak doyan omong kosong.

2. Bahwa bangsa Indonesia baik otak maupun kebangsaan tidak lebih tinggi, juga sebaliknya tidak lebih rendah dari bangsa mana saja, dan bahwa mereka itu sungguh matang untuk menerima pengajaran yang macam mana sekalipun.

3. Bahwa universitas Indonesia yang pertama tak perlu cangkokan atau tiruan dari Eropa,tetapi dengan memperhatikan perguruan tinggi di Eropa berdasarkan pada kecerdasan rohani dan keadaan masyarakat Indonesia sendiri pada masa ini.

Filipina — yang 12 juta penduduknya — sudah mempunyai empat universitas dan beberapa sekolah tinggi, tapi Indonesia dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak belum mempunyai sebuah juga.

Sekejap pun tak kita lupakan, bahwa bila "orang Belanda" mendirikan universitas di Indonesia, pengajarannya niscaya dan pasti lebih tinggi daripada di koloni lain sebagaimana, katanya, universitas Belanda jauh lebih tinggi daripada universitas di mana pun. Tanpa mempedulikan tabiat menurutkan kata hati sendiri itu, kita hanya ingin mengatakan kepada Belanda, "Cobalah dulu tunjukkan kecakapanmu itu di Indonesia!"

"Perbuatan itulah yang sebenarnya harus kamu buktikan!"

Tetapi, selain duit yang bagi seorang Belanda lebih berat timbangannya daripada cita-cita dan alasan politik, ada pula pandangan politik lain yang tak dapat kita harapkan dari si Belanda tani dusun yang dungu itu.

Belum selang berapa lama Tuan Hardeman, Kepala Departemen Pengajaran, menerangkan dalam sidang Dewan Rakyat bahwa mendirikan suatu perguruan tinggi belum tentu melahirkan buruh terpelajar, karena kebutuhan akan buruh pelajar itu untuk sementara waktu ini berkurang, disebabkan kesukaran ekonomi yang nanti tentu akan pulih. Dengan ini lenyaplah "momok" seperti yang dibuat oleh Java Bode, tanggal 30 Juni.

Akibat politik pengajaran Belanda di sana-sini kelak akan kita ulas lagi. Di sini kita ingin memastikan, dengan angka-angka, bahwa perguruan rendah, menengah dan tinggi, semenjak dulu tidak cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta. Hal itu harus diakui tanpa mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut dirinya "pemerintah".

Kita lewati sepintas lalu sekolah-sekolah tinggi yang sudah beberapa tahun, katanya, mengeluarkan berpuluh-puluh dokter, mister, dan insinyur. Kita tujukan pembicaraan sebentar kepada soal sekolah rendah. Jumlah anakanak yang harus masuk sekolah pada tahun 1919 adalah sebagai berikut: H.I.S. 1%, Sekolah Rakyat 5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang 86% anak-anak yang seharusnya bersekolah tak mendapat tempat (menurut laporan kongres N.I.O.G. tahun 1923 yang diumumkan dalam Indische Courant). Mereka yang bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5% sampai 6%, mungkin juga 2% sampai 3%.

Jumlah belanja perguruan di tahun 1919 menurut kabar yang sah adalah f 20,000,000 dan f 75,000,000 untuk 150,000 orang anak-anak Eropa dan f 12,500,000 untuk anak-anak dari 55,000,000 tukang bayar pajak rakyat Indonesia. Pada tahun 1923 belanja perguruan itu f 34.452.000. Jadi, untuk seorang anak bumiputra pada waktu itu dikeluarkan 30 sen, sama artinya 1/7 dari yang dikeluarkan untuk anak Filipina.

Untuk badan-badan lain, yang memperlihatkan contoh yang baik kepada rakyat yang tak senang, seperti polisi, militer dan armada, pada tahun itu dikeluarkan belanja sebesar f 156,274,000. Tambahan pula seperti yang sudah dimufakati antara dia sama dia, di lain tahun akan dibelanjakan f 300,000,000. Satu beban yang berat sekali di atas bahu si Kromo yang merana itu.

Kita, kaum revolusioner, pada tahun 1921 bermaksud untuk memperbaiki keteledoran pemerintah dalam pendidikan itu dengan mendirikan sekolah-sekolah sendiri. Dengan menempuh pelbagai macam kesusahan, seperti kesulitan teknis, kepegawaian, keuangan, politik dan polisi, akhirnya dapat kita dirikan di seluruh Jawa 52 buah sekolah dengan kira-kira 50,000 orang murid dan jumlah itu bertambah banyak. Akan tetapi, sekolah itu digencet dengan kekerasan. Dengan alasan yang tak cukup setiap waktu guru-guru di sekolah itu dilarang mengajar, dan orangtua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan penghabisan dijatuhkan Serikat Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh pemerintah dan orang-orangnya). Penyamun upahan ini disuruh membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan guru-gurunya. Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.

Sebuah pergerakan rakyat yang sehat menuju ke pemberantasan buta huruf yang dipimpin dengan gembira dan tak memandang susah payah oleh kaum revolusioner di Priangan pada tahun 1922 ditimpa nasib yang seburuk itu pula.

Politik pemerintah ini dalam soal pengajaran boleh disimpulkan dengan perkataan: "bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketenteraman dan keamanan umum ter pelihara" .

3. Kelaliman dan Perbudakan

Meski sudah 300 tahun Indonesia berkenalan dengan peradaban Barat, masih saja rakyat kita hidup di dalam keadaan yang tak mengenal atau mempunyai hak. Pak tani tak pernah sehari juga mendapat kepastian tentang kepemilikan, kemerdekaan bahkan nyawanya sekalipun. Setiap tahun skrup pajak rakyat semakin keras putarannya. Kaum buruh tidak boleh mengadakan perhimpunan atau mengemukakan keberatannya. Permohonan rakyat yang pantas tidak didengarkan. Pendidikan dan pemimpin rakyat yang dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, dan karena itu, dengan tidak diperiksa terlebih dahulu, dimasukkan ke dalam penjara, disekap di kamar tikus, dihalau keluar negeri atau diketok kepalanya sampai mati. Permintaan dan protes yang beralasan dimusnahkan oleh birokrasi yang rupanya lebih suka tenggelam dalam kebusukannya sendiri.

Sekarang marilah kita persilakan Prof. Van Vollenhoyen yang termashur itu berbicara dan mencela sikap pemerintah Belanda, seperti yang tertulis dalam buku beliau Indonesier en zijn Grond. Indonesia boleh jadi mempunyai tidak kurang dari 70% penduduk yang hidup dari pertanian; dan karena itulah, maka penting bagi seorang terpelajar — yang kehormatan dan kedudukannya belum pernah dicurangi orang — supaya mendengar apakah yang sudah diperbuat terhadap si tani dalam beberapa tahun oleh sebuah kekuasaan yang mengaku dirinya sebagai "pengasuh rakyat" serta merasa berbuat serupa itu.

Kita bukan hendak mengorek-orek yang sudah terjadi maka lebih dulu diperbincangkan kejadian-kejadian semenjak 60 tahun dari abad yang silam. Siapa saja tentu tahu dan membenarkan perkataan bahwa di tahun-tahun itu "orang Jawa dianiaya". Akan tetapi tidak semua orang dengan lekas melihat macam apa dan sampai ke mana batas penggencetan atas milik kaum tani itu. Untuk mengetahui hal ini, tak usah kita baca buku-buku kelaliman pemerintah Belanda ini sebagai "kaum penghasut dan penyebar kebencian", tetapi kita ambil saja perslahannya sendiri.

Kesewenang-wenangan Daendels, biar bagaimana busuknya, masih dapat dianggap luar biasa. la mempunyai kekuasaan sendiri atas sawah dan ladang rakyat untuk menggaji pegawai bumiputra (hlm. 12 dan dll).

Seterusnya van Vollenhoven berkata: "dibandingkan dengan peratusan raja-raja Jawa yang hampir sama busuk dengan kebiasaan kita, "masih terbatas" dalam kerajaannya saja, Kedu, Yogyakarta dan Surakarta, tetapi kita meluaskannya sampai meliputi seluruh pulau itu" (hlm. 16).

Pegawai-pegawai desa mengambil suatu kepunyaan rakyat yang baik untuknya dan diberikannya yang buruk kepada rakyat yang bodoh. Semua itu perbuatan sewenang-wenang (hlm. 17).

"Apakah yang kita harapkan sekarang?” tanya van Vollenhoven seterusnya. Apakah kita berangsur-angsur akan menghentikan kerewelan perkara sawah ladang karma pajak tanah (ini sudah terjadi). Apakah kita berang,sur-angsur tidak lagi akan mengambil sawah ladang dan kebun paksaan rakyat (ini sudah terjadi). Apakah kita akan mengurangi dan menghapuskan akibat yang merugikan dari kerja paksa atas tanah-tanah kepunyaan rakyat (ini sudah terjadi). Dan selanjutnya kita belajar mendiamkan tangan kita yang gatal itu. Yang belakangan ini belum terjadi (hlm. 20).

Bila pada tahun 1919 seorang Jawa yang haknya atas tanahnya dirugikan f 1,000 datang mengadukan halnya kepada kontrolir, ia akan dihukum delapan hari kerja paksa. Bila ia menghadap Presiden Pengadilan Negeri, ia akan dijawab, "Tidak ada waktu!" dan bila orang itu pergi minta perlindungan Wali Negeri, "Sri Paduka Tuan Besar tidak berkenan menjawab". Dalam bahasa Belanda yang agak halus disebut hal itu "godsgeklaagd" (hlm. 26).

Seringkali terjadi di tengah-tengah sebidang tanah yang akan diberikan pemerintah kepada tuan-tuan besar kebun ada sawah atau ladang bumiputra. Menurut undang-undang, tanah itu tidak boleh diambil kecuali jika untuk keperluan pemerintah sendiri. Akan tetapi dalam praktiknya orang berikhtiar membujuk si inlander supaya mau menukar haknya dengan uang (hlm. 26).
Berikut ini adalah kesimpulan dari Prof. van. Vollenhoven yang tak dapat dicela kebenaran dan kenyataannya itu.

"Tetapi rupanya inilah yang sepenting-pentingnya orang Indonesia yang punya tanah sendiri, sungguh sangat susah akan mempunyai perasaan selain dari pelanggaran terus menerus; dusta dan penipuan atas hak tanahnya yang sah di atas kertas, sebagai daya upaya yang tak habis-habisnya untuk merampasi haknya tadi atau berdaya upaya supaya ia jangan dapat mempergunakannya" (hlm. 28).

Kita masih dapat mengutip beberapa gugatan dan kesimpulan van Vollenhoven yang berkenaan dengan penipuan atas tanah dengan jalan mengubah kalimat undang-undang, dengan merusak dan melanggar undang-undang itu sendiri dan tentang sebab-sebab pemberontakan di Sumatera, Borneo, yakni pencurian tanah. Akan tetapi, kutipan tersebut di atas sudah memadai.

Dan tidakkah semua kenaikan pajak sekarang itu adalah suatu kesewenang-wenangan yang kasar jika kita menggunakan perkataan Prof. van Vallenhoven itu sendiri? Adakah rakyat kita diberitahu waktu pemerintah mengambil suatu keputusan dan memperbincangkan kepemilikan, pekerjaan dan kemerdekaan kita?

Tidak pernah! Persis sebagaimana pemerintah tidak pernah bertanya kepada kita, "Apakah kita menyukainya atau tidak?"

Bangsa Indonesia yang 55 juta itu tidak mempunyai wakil seorang jua pun dalam pemerintahan ini yang boleh memperdengarkan suara atau nasihat, protes atau celaan. Gerombolan militeris dan birokrasi yang menghisap darah dan menguasai nasib kita, tak pernah kita sukai dan kita pilih. Mereka tak dapat kita hentikan sebab kita tak punya kekuasaan politik. Mereka ini mesti kita terjang bila kita tidak suka kepada mereka, lain tidak! Kesimpulannya, sekalian dan peraturan yang menguasai kita di Indonesia dibuat sesuka hati mereka sendiri dan pembayaran pajak dalam teori atau praktik, semuanya adalah "pencurian".

Marilah kita perhatikan nasib 300.000 kuli kontrak, yang "katanya" dilindungi oleh pemerintah ini. Upah yang kurang lebih f 12 sebulan sungguh hampir tak cukup untuk membeli pakaian yang biasanya koyak-koyak, sebab setiap hari dipakai kerja di kebun. Sehari bekerja 14 sampai 18 jam, sebab kebun-kebun tembakau biasanya jauh letaknya dari pondokan kuli, lebih tepat kandang kuli, meskipun di dalam kontrak hanya tertulis 10 jam.

Perlakuan pengawas-pengawas kebun bangsa Eropa lebih tepat digambarkan sebagai penikaman, pembacokan; penganiayaan dan pembunuhan atas asisten-asisten kebun dan "kehalusan yang diusik-usik hingga menjad kekejaman!" Di sinilah terjadi pergaulan sosial yang diracuni oleh judi, candu dan persundalan yang merendahkan tabiat kuli-kuli dan menyebabkan mereka banyak berutang kepada majikannya, hingga kontrak mereka terpaksa selamanya diperbaharui.

Syarat-syarat kerja seperti itu — langsung atau tidak — dipikulkan di atas kaum tani yang kebanyakan buta huruf dan dungu; mereka ditekan dalam satu "kontrak" yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak itu disebutkan mereka "tak boleh berorganisasi dan mogok" — yang dengan jalan itu mereka dapat menagih upah dan syarat-syarat kerja yang sedikit mendingan seperti di negeri-negeri lain. Hal itu diakui oleh pemerintah. Sungguh hal itu hanya dapat dipertahankan oleh "saudagar budak" di zaman biadab.

Marilah kita ingat kejahatan-kejahatan yang dilakukan di Deli. Marilah kita ingat penganiayaan baru-baru ini yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di Lampung dan Sumatera Selatan, yaitu kejahatan yang dianggap sebagai dongeng saja di abad. Bahkan lebih dari dongeng, yaitu ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah atas "bajingan-bajingan" Eropa itu.

Kaum buruh industri, perkebunan dan pengangkutan yang beratus ribu atau beberapa juta di Jawa dan lainnya, yang diperbudak tidak dengan kontrak, yang katanya "buruh merdeka", bernasib tak lebih baik daripada budak kontrak asli. Satu per satu kakinya diikat dengan rantai aturan, hingga tak dapat berorganisasi dan berjuang melawan kapitalis yang sewenang-wenang. Di dalam Dewan Rakyat, Majelis Tinggi dan Rendah, dan surat-surat kabar yang berlain-lainan tujuan itu, telah berulang-ulang diperbincangkan hak organisasi dan hak mogok dari kaum buruh Indonesia! Tak perlu kita ulang lagi di sini, atau kita uraikan hukum-hukum paksa itu. Sekali lagi dikatakan undang-undang itu bukanlah menurut perasaan modern, tetapi aturan paksa yang dihadapkan oleh segerombolan kaum birokrat kepada buruh Indonesia, buat pengikat segala daya upaya mereka menuju perbaikan nasib.

Semua undang-undang yang dijalankan itu menyebabkan kita teringat kepada zaman biadab dan perbudakan yang gelap. Begitu banyak undang-undang paksa terhadap politik gerakan sehingga tak dapat kita terus-terang mengatakan atau menulis sesuatu mengenai si penjajah atau yang dapat membukakan mata rakyat yang terbelenggu ini.

Rakyat Indonesia mesti menutup mulutnya jika terjadi penganiayaan atas diri pemimpin-pemimpin yang mereka percayai dan kasihi, juga apabila dengan sengaja para pemimpin dirampas beberapa bulan kemerdekaannya atau tanpa diperiksa lebih dulu terus dibuang sebab dianggap berbahaya atau secara khianat ditikam, dibacok, diketok kepalanya sampai mati, atau dicabut nyawanya dengan peluru.

Bila diceritakan kepada rakyat bahwa seorang pemimpin yang dicintai, seperti Haji Misbach yang katanya mati "disebabkan demam hitam" pada satu pembuangan yang ditentukan oleh pemerintah, mau tidak mau, mereka mesti percaya saja.

Bilamana rakyat mendengar bahwa seorang pemuda yang terpelajar dan sopan, seperti Soegono kita, pemimpin V.S.T.G yang katanya "membunuh diri" dalam penjara, sedangkan pada kepala dan tangannya terdapat bekas-bekas penganiayaan dan sebuah jarinya hancur sama sekali, rakyat "tak dapat mendakwa", juga tidak boleh mengajukan protes sama sekali.

Dan pemerintah yang "katanya" jadi pengasuh dan pelindung rakyat kita, tidak mengadakan pemeriksaan saksama tentang sebab-sebab kematian yang sekonyong-konyong dari pemimpin rakyat yang cakap berjuang dengan dada terbuka dan pendek kata dicintai dan dipercayai rakyat. Dia tidak mempedulikan atau tak punya keberanian moral akan mengakui dan membetulkan kesalahannya dan menghukum yang bersalah menurut undang-undang Fiat justitiaruate cellum.

(Jalankanlah keadilan meskipun langit akan runtuh!)

Keadilan di Indonesia hanya bagi segolongan kecil yaitu si penjajah kulit putih. Bagi bangsa Indonesia yang berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.

Continue Reading...

KAPITALISME INDONESIA

Aksi Massa

Tan Malaka (1926)


IV

KAPITALISME INDONESIA

Kapitalisme di Indonesia adalah cangkokan dari Eropa yang dalam beberapa hal tak sama dengan kapitalisme yang tumbuh dan dibesarkan dalam negerinya sendiri, yakni Eropa dan Amerika Utara.

1. Kapitalisme yang Masih Muda

Karena kapitalisme di Indonesia masih muda, produksi dan pemusatannya belumlah mencapai tingkat yang semestinya. Kira-kira seperempat abad belakangan baru dimulai industrialisasi di Indonesia. Baru pada waktu itulah dipergunakan mesin yang modern dalam perusahaan-perusahaan gula, karet, teh, minyak, arang dan timah.

Industri Indonesia, terutama industri pertanian, masih tetap terbatas di Jawa dan di beberapa tempat di Sumatera. Tanah yang luas, yang biasanya sangat subur dan mengandung barang-barang logam yang tak ternilai harganya, seperti Sumatera, Borneo, Sulawesi dan pulau-pulau yang lain masih menunggu-nunggu tangan manusia. Meskipun Pulau Jawa dalam hal perkebunan dan alat-alat angkutan sudah mencapai tingkatan yang tinggi, tetapi umumnya pulau luar Jawa, kecuali Sumatera, masih rimba raya.

Industri modern yang sebenarnya tidak akan diadakan di Pulau Jawa. Ia akan tetap tinggal menjadi tempat industri pertanian. Sebab logam-logam seperti besi, arang, minyak tanah, emas dan lainnya, tidak atau hanya sedikit sekali didapat di sana. Sumateralah yang menjadi tempat industri modern yang sebenarnya. Hal ini sekarang sebagian kecil telah terbukti. Arang, minyak tanah, emas dan timah hasil Sumatera (kelak juga besi) besar artinya, baik di kalangan nasional maupun internasional.

Inggris, negeri industri yang tertua di dunia, pada pertengahan abad yang lalu mengadakan perubahan yang tepat dalam perindustriannya. Negeri-negeri Eropa yang lain dan Amerika Utara mengikuti pula berangsur-angsur. Teknik dan peraturan bekerja di sana sekarang telah sampai pada tingkat yang setinggi-tingginya seperti yang belum pernah dikenal oleh riwayat dunia. Tenaga produksi dan distribusi jauh melewati batas keperluan nasional. Eropa dan Amerika Utara telah menjadi negeri kapitalis yang matang.

Kapital memisahkan kota dengan desa. Kota menghasilkan produksi industri dan produksi pertanian. Makin maju kapitalisme, semakin banyak penduduk yang tadinya di desa-desa ditarik ke kota-kota. Bukankah di kota sewaktu keadaan politik dan ekonomi baik, kita peroleh lebih banyak pekerjaan, lebih banyak rumah-rumah pendidikan dan lebih banyak kesenangan daripada di desa-desa? Pada tahun 1790 di kota-kota berdiam 3.4% dan di desa-desa 96.6% penduduk dari seluruh penduduk, dan pada tahun 1920 menjadi 51 % dan 49%. Di tahun 1870 angka-angka itu jadi 21% dan 79% dan di tahun 1910 jadi 51 % dan 49%. Jadi, jumlah penduduk di desa-desa pada tahun 1920 lebih kecil dari penduduk kota. Angka-angka ini membuktikan secara nyata pada kita perihal kemajuan kota-kota Amerika, sebagai akibat dari kemajuan industrialisasi. Di negeri Inggris proses pembagian itu (perihal kota dan desa) sama teratur dan sama cukupnya. Pada tahun 1850 di kota-kota berdiam 49% penduduk dari seluruh penduduk. Pada tahun 1900 perbandingan ini menjadi 77% dan 23%, (The relation Governement to industry, M.L. Regua).

Menurut foods No. 73 tahun ini, jumlah penduduk dan kota-kota yang mempunyai lebih 10,000 jiwa di Jawa dan Madura baru 60% dari seluruh penduduk.

Jika kita pakai perbandingan antara penduduk kota dan desa sebagai ukuran kemajuan industri satu-satu negeri, niscaya industri Indonesia masih di dalam keadaan bayi.

Jika kita ambil pula jumlah panjangnya jalan kereta api untuk menggambarkan kemajuan industri selaku penjelasan uraian kita yang di atas, nyatalah kepada kita bahwa negeri Jerman, dengan 177,000 mil persegi luasnya dan penduduknya yang lebih sedikit dari Indonesia, pada tahun 1913 mempunyai 38,809 mil jalan kereta api, sedang Indonesia yang luasnya 735,000 mil persegi, pada tahun 1919 hanya ada mempunyai 3,914 mil.

Perihal jumlah perdagangan (impor-ekspor) di Indonesia 1924 (sesudah perang dunia) ada f 2,208,800 (menurut International Ocean, no. 526, Negeri Jerman pada tahun 1913 [sebelum perang] ada f 13,375,000.000). Angka-angka ini menunjukkan kemunduran kita. Tetapi jika dibandingkan dengan negeri seperti Inggris, India, dan Filipina, kelihatannya Indonesia belum berapa mundur. Dan bila dibandingkan dengan Turki, Siam, dan Tiongkok, Indonesia jauh lebih baik. Dengan membuat perbandingan itu sebagaimana yang sudah kita lakukan, sebetulnya ini telah melebihi dari kemestian. Maksud kita tak lain ialah untuk menerangkan betapa mudanya kapitalisme di Indonesia.

2. Tumbuh Tidak dengan Semestinya

Kapitalisme di Indonesia tidak dilahirkan oleh cara-cara produksi bumiputra yang menurut kemauan alam. Ia adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan kekerasan mendesak sistem produksi bumiputra.

Bila kita perhatikan perkembangan kapitalisme di Eropa dan Amerika, nyatalah pada kita bahwa cara produksi yang tua berturut-turut digantikan oleh yang muda. Biasanya kejadian itu tidak tampak jelas, tetapi adakalanya cepat sehingga cukup jelas. Kejadian yang belakangan ini ialah oleh adanya pendapatan-pendapatan baru. Biar bagaimanapun keadaan saat itu, ia adalah kemajuan menurut alam, sebab tenaga yang mendorongkan pada kemajuan itu ada di dalam genggaman masyarakat di Eropa dan Amerika sendiri.

Sebagaimana yang telah kita tunjukkan, kemajuan industri di setiap negeri sejajar dengan timbulnya kota-kota yang mengeluarkan terutama barang-barang industri seperti barang-barang besi, perkakas pertanian, obat-obatan dan lain-lain. Desa-desa mengeluarkan beras, sayur-mayur, binatang ternak, susu dan lain-lain. Barang-barang kota yang berlebih — yakni barang itu dipandang penduduk kota sebagai keperluan hidupnya ditukarkan dengan barang-barang desa yang berlebih itu.

Di Amerika pada waktu yang biasa seperti pada tahun 1913, selagi negeri ini terpencil dan kurang imperialistis, seperti sekarang ini, boleh dikatakan sama besarnya perbandingan antara barang-barang industri dengan pertanian (harga pasar antara kedua barang itu hampir sama). Jadi dalam pemandangan ekonomi kota memenuhi keperluan desa, desa memenuhi keperluan kota.

Di Indonesia sebagai akibat kemajuan ekonomi yang tidak teratur sebagaimana mestinya, tidak seperti di atas keadaannya. Kota-kota kita tak dapat dianggap sebagai konsentrasi dari teknik, industri, dan penduduk. Ia tak menghasilkan barang-barang baik untuk desa maupun untuk perdagangan luar negeri, dari kapitalis-kapitalis bumiputra. Mesin-mesin pertanian, keperluan rumah tangga, bahan-bahan untuk pakaian dan lain-lain tidak dibuat di Indonesia, tetapi didatangkan dari luar negeri oleh badan-badan perdagangan imperialistis. Desa-desa kita tak menghasilkan barang kebutuhan untuk kota-kota, karena untuk mereka sendiri pun tak mencukupi. Beras misalnya, makanan rakyat yang terutama mesti didatangkan dari luar, di tahun 1921 seharga f 114,160,000, meskipun bangsa kita umumnya sangat pandai mengerjakan tanahnya dan semua syarat untuk menghasilkan beras bagi keperluan sendiri bahkan dapat pula mengeluarkan berasnya yang berlebih. Desa-desa kita mengeluarkan gula, karet, teh, dan lain-lain barang perdagangan yang mengayakan saudagar asing, tetapi memiskinkan dan memelaratkan kaum tarsi; kota-kota kita bukanlah menjadi pusat ekonomi bangsa Indonesia, tetapi terus-terusan menjadi sumber ekonomi yang mengalirkan keuntungan untuk setan-setan uang luar negeri.

Bahan yang menyebabkan kapitalisme bukanlah Indonesia — mengingat riwayat negeri kita yang tersebut di atas — teranglah bagi kita.

Sudah kita lihat bahwa politik perampok bangsa Belanda, memusnahkan sekalian benih-benih industri bumiputra yang modern. Hongi-hongi cultuur stelsel, monopoli stelsel dan gencetan pajak yang tak ada ampunnya. Dan pemasukan saudagar-saudagar Tionghoa yang teratur di zaman Kompeni Timur Jauh (VOC) menghancurluluhkan sekalian alat-alat sosial ekonomi dan teknik nasional yang kuat.

Jika sekiranya bangsa Indonesia tidak dirampok, dan mempunyai kepandaian teknik, serta dipengaruhi oleh orang asing, tentulah orang Indonesia ada kesempatan untuk memenuhi kemauan alam.

Boleh jadi dengan secara damai (seperti di Jepang) atau dengan perantara pemboikotan nasional (seperti di India) kaum menengah Indonesia atau Indo dengan jalan mengumpulkan kapital nasional mendirikan industri untuk memenuhi kebutuhan nasional seperti tenun besi.

Demikianlah, kapital Indonesia timbul dengan teratur pula antara lapisan-lapisan sosial Indonesia dan mempunyai perhubungan yang teratur. Saudagar Indonesia yang dulu kecil sekarang sudah menjadi bankir atau mengepalai perusahaan yang besar-besar. Penempa besi, tukang tukang gula, saudagar batik yang dulu kecil menjadi pemimpin industri logam, gula atau tenun. Tetapi imperialisme Belanda dalam 300 tahun tak meningkatkan apa pun untuk bangsa Indonesia, semua habis diangkut ke negerinya. Ia memuntahkan kapitalisme kolonial Belanda yang tidak ada duanya di dunia.

Maju ke dalam perjuangaan ekonomi melawan raksasa asing, dengan maksud meningkatkan industri nasional sama dengan "menjaring angin".

3. Kapital Indonesia Itu Internasional

Imperialisme Inggris dengan industri nasionalnya yang nomor wahid dan armada yang luar biasa, semenjak semula merasa perlu mengadakan kompromi dengan raja-raja, dan tuan-tuan tanah bangsa India, untuk mempertahankan diri terhadap borjuasi bumiputra yang baru timbul. Tetapi tatkala yang tersebut belakangan ini keluar dari medan perjuangan dengan kemenangan (di tahun 1900-1905 dan 1919-1922), Inggris mengulurkan tangannya.

Bersama dengan raja-raja, tuan-tuan tanah dan borjuasi India yang baru itu, dia pergi memperkuda punggung rakyat yang menggerutu itu. Bagaimanapun sulitnya imperialisme Inggris, ia masih mempunyai tujuan di dalam kerajaan sendiri.

Imperialisme Belanda memukul dan menendang "kerbau" yang sabar itu, sekian lamanya, hingga sekarang kerbau itu mempergunakan tanduknya.

Belanda kecil yang di waktu dulu menelan segalanya untuk dirinya sendiri, sekarang terpaksa membagi-bagikan itu dengan negeri-negeri yang lebih kuat.

Adapun kekurangan kapital dan industri, adalah sebab yang terpenting dari tindakan Belanda itu, maka semenjak beberapa tahun, kapital Inggris memegang peranan besar di Indonesia. Raffles yang bijaksana itu sudah lama melihat hal ini dan tidak puas sebelum ia dapat mengelabui mata Belanda-tani itu. Setelah perang dengan Napoleon berhenti, Inggris mengembalikan sekalian koloni Belanda. Perbuatan ini seakan-akan sangat bertentangan dengan politik yang waktu itu dipakai Inggris, tetapi setelah dicermati perbuatan itu adalah politik Inggris yang selicin-licinnya dan semurah-murahnya dalam memakai Belanda sebagai opas untuk kapital yang ditanamnya di Indonesia. Apakah pengambilalihan seluruh administrasi yang ada di Indonesia memberi tanggung jawab dan kesusahan kepada Inggris? Kapital Inggris yang beberapa tahun belakangan ini makin hari makin besar, bagi Belanda — kecil sangat mengkhawatirkan, dan bangsa Indonesia sekarang tak sabar lagi, hingga Belanda sekarang berniat memakai "politik pintu terbuka". Istilah yang sebenarnya diambil dari kamus Amerika ini sungguh cocok dengan politik Belanda di Timur. Dalam kata-kata biasa, ia berbunyi: "Dan terhadap kapital Inggris serta bangsa Indonesia yang telah terjaga dari tidurnya, semestinya Belanda lebih kuat bila mempunyai Amerika yang demokratis. Tetapi negeri ini mesti ditarik ke Indonesia. Kapitalnya ditanam di Indonesia dengan segala daya upaya dan, jika perlu, diberikan hak-hak yang luar biasa. Jika tiba masanya, kelak Amerika bergandeng tangan dengan Belanda".

Uang dan susah payah tak diperhitungkan demi kapital Amerika. Seorang menteri pernah berkata terus terang di dalam kamer, bahwa: Kedatangan kapital Amerika sangat mudah karena undang-undang di Indonesia sekarang. Kunjungan Fock ke Manila pada tahun 1923, dan kedatangan beberapa kapal perang ke Filipina, mendudukkan seorang konsul jendral di New York yang kerjanya selain hilir mudik dengan perundingan dan perjanjian juga menghambur-hamburkan uang buat reklame, pamflet dan majalah yang selama bertahun-tahun memuat perihal Jawa sang negeri ajaib (Java the Wonderland). Semuanya itu adalah untuk memikat pelancong-pelancong dan kapitalis Amerika supaya datang berduyun-duyun ke Indonesia.

Berapa besar kapital Belanda itu dapat kita lihat pada angka-angka di bawah ini.

Dalam buku Handbook voor cultuur en handsondernemingen in Ned. India ditulis oleh Agulvant, kapital yang ditanam di Indonesia ditaksir sejumlah f 3.270.000.000. Di antaranya f 1.27,000,000 di dalam kebun-kebun, minyak f 900,000,000. Dalam bank dan perdagangan f 750,000,000.

Perusahaan kapal, kereta api dan tram masing-masingnya f 250.000.000, f 220.000.000 dan f 200,000,000. Tambang-tambang f 70,000,000 dan maskapai-maskapai asuransi f 60,000,000.

Kapital yang ditanam di Sumatera Timur pada tahun 1924 sejumlah f 439,000,000. Di antaranya 55.3% kepunyaan Belanda dan 44.7% kepunyaan bangsa asing. Kapital bangsa asing yang ditanam dalam industri pertanian sejumlah f 200,000,000. Di antaranya f 147,500,000 adalah kapital Inggris, f 300,000,000 milik Prancis dan Belgia, f 15.700.000 milik Jepang dan f 4.000.000 milik Jerman (International Ocean. No. 6, 1926).

Luas kebun karet pada tahun 1924 sebesar 241,357 bau [note 1]. Di antaranya 42.2% kepunyaan bangsa asing dan 32.4% kepunyaan Inggris. Berhubung dengan monopoli Inggris, kapital karet Amerika beberapa tahun belakangan ini sangat cepat meningkatnya di Sumatera. Luas kebun teh di Jawa 116,664 bau. Kepunyaan bangsa asing 23.8% dan Inggris 17.8%.

Dari tujuh macam hasil utama yang dikirimkan ke pasar-pasar di seluruh dunia, ekspor gula di tahun 1924, f 491,100,000 atau 32.1 % dari jumlah ekspor. Karet f 202,600,000, atau 13.2% dari ekspor. Minyak tanah f 158,300,000, tembakau f 123,600,000, kopra f 97,400,000, teh f 93,600,000 dan kopi f 56,600,000 yakni masing-masing 10.3%; 8.1%; 6.4%; 6.1%; dan 4.3% dari jumlah ekspor semuanya.

Pada tahun 1924 ekspor ke tanah Inggris dan di jajahannya 42.55% dari semua ekspor dan ke negeri Belanda hanya 19.7%, sedang 40.4% dari Inggris dan tanah jajahannya.

Jadi teranglah, bahwa perdagangan Inggris di Indonesia lebih besar dari semua negeri asing, sedangkan di dalam perusahaan minyak dan kebun-kebun yang terpenting, kapital Inggris memegang peranan yang terbesar di antara kapital bukan Belanda. Jadi tidaklah mengherankan mengapa orang Belanda tergesa-gesa memikat kapital Amerika.

Betul beberapa tahun belakangan ini, karena iri hati melihat Inggris menjalankan politik karet dengan cara monopoli, Amerika mulai menanam kapitalnya di kebun karet di Sumatera Timur. Akan tetapi, hal itu belum menjadi satu kepastian, apakah Amerika hendak menanamkan kapitalnya di Sumatera dan Jawa saja, sebab di Mindanau (Filipina Selatan) dan Liberia ada tanah yang subur untuk kebun karet.

Mengakui dan melindungi industri bumiputra yang modern seperti di India menurut pandangan ekonomi baru tidak akan ada sama sekali, sebab industri bumiputra modern memang tidak ada. Rakyat hanya diperas, diinjak-injak dan ditipu. Pemecatan kaum buruh bukanlah satu keanehan, dan cengkraman pajak makin lama makin erat. Ekonomi rakyat tak perlu disebut-sebut sebab negeri Belanda terutama bergantung pada kapital luar negeri.

[note 1] 1 bau = 500 tombak persegi atau 7096 m2.


Continue Reading...

BEBERAPA MACAM IMPERIALISME

Aksi Massa

Tan Malaka (1926)


III

BEBERAPA MACAM IMPERIALISME

1. Berbagai Cara Pemerasan dan Penindasan

"Tuhan menciptakan dunia menurut gambaran-Nya sendiri".

Orang asing yang menjajah Asia selama 300 tahun adalah untuk memenuhi kebutuhan mereka masing-masing dan mereka memerintah negeri-negeri taklukannya dengan berbagai cara. Adapun secara ekonomis, dari dulu sampai sekarang dapat dibagi sebagai berikut.

a. Perampokan terang-terangan, dahulu dilakukan oleh Portugis dan Spanyol.

b. Monopoli, yang dalam praktiknya sama dengan perampokan, masih terus dilakukan oleh Belanda di Indonesia sampai sekarang (± tahun 1926, peny.).

c. Setengah monopoli, mulai dilakukan oleh Inggris di India.

d. Persaingan bebas, mulai dilakukan oleh Amerika di Filipina.

Cara-cara imperialis lain hampir dapat disamakan dengan cara yang tersebut di atas.

Adapun cara penindasan dalam politik adalah seperti di bawah ini.

a. Imperialisme biadab, yakni menghancurkan sekalian kekuasaan politik bumiputra dan menjalankan pemerintahan yang sewenang-wenang, misalnya adalah Spanyol di Filipina.

b. Imperialisme autokratis, yakni yang hampir tak berbeda dengan yang tersebut pasal a seperti Belanda.

c. Imperialisme setengah liberal, yakni imperialisme yang memberikan kekuasaan yang sangat terbatas kepada bumiputra yang berkuasa (raja-raja atau kepala negara yang turun-temurun seperti Inggris di India).

d. Imperialisme liberal, yakni imperialisme yang memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada tuan tanah yang besar serta kepada borjuasi bumiputra yang mulai naik, misalnya adalah imperialisme Amerika di Filipina.

2. Sebab-Sebab Perbedaan

Perbedaan dalam cara pemerasan dan penindasan terhadap si terjajah disebabkan bukan oleh perbedaan tabiat manusia di negeri-negeri imperialis tersebut. Tetapi karena kedudukan kapital dari masing-masing negeri waktu mereka sampai di Asia, dan juga cara menjalankan kapital tersebut.

Waktu Spanyol dan Portugis kira-kira tahun 1500 datang di Asia, mereka belum terlepas sama sekali dari feodalisme. Portugis dan Spanyol adalah negeri pertanian, pekerjaan tangan, kaum bangsawan dan kaum agama (jadi belum ada industri).

Barang-barang industri yang dapat dijual di pasar-pasar tanah jajahan belum ada. Mereka datang ke koloni-koloni untuk merampok hasil-hasil di sana lalu dijual dipasar Eropa dengan harga tinggi. Karena mereka sangat keras memeluk agama Katholik yang baru saja mengusir Islam dari Spanyol, maka bangsa Indonesia yang memeluk agama animis di Filipina itu dipaksa menjadi orang Kristen. Siapa yang tidak suka mengikut paksaan itu dipancung dengan pedang.

Waktu Belanda mengikuti Spanyol dan Portugis sampai ke Indonesia kira-kira tahun 1600, sebagian besar dari feodalisme Belanda telah didesak oleh borjuasinya. Mereka telah melepaskan diri dari tindasan feodalisme serta Katholikisme dan mengambil jalan menuju perdagangan merdeka, liberalisme dan Protestanisme. Negeri Belanda ada di dalam zaman kapitalisme muda.

Inggris yang pada tahun 1750 dapat berdiri tetap di India, sebenarnya telah 100 tahun lamanya menyelami revolusi borjuasi di bawah pimpinan Cromwell.

Setelah itu kapitalisme Inggris semakin maju dengan sangat cepatnya, disertai dengan paham-paham perdagangan bebas, liberalisme, konstituationalisme dan kepercayaan merdeka.

Amerika sampai di Filipina pada tahun 1898 setelah mengalami dua revolusi borjuasi (1775 dan 1860). Ia kokoh memegang paham Monroe, demokrasi dan politik pintu terbuka.

3. Akibat dari Berbagai Macam Cara Pemerasan dan Penindasan

Sebagai buah dari cara perampokan itu, maka Portugis dan Spanyol akhirnya dihalau dari tanah jajahannya (Siapakah yang akan dihalaukan sekarang).

Sekalipun semangat revolusioner di Indonesia sudah matang dan menyala-nyala tetapi persediaan belum cukup, maka imperialisme Belanda masih berdiri.

Dengan jalan memberikan konsesi-konsesi yang besar, kalau terpaksa, serta politik kompromis kepada segolongan orang India, maka imperialisme Inggris masih berdiri di sana.

Dengan berkedok untuk mengasuh, menolong dan mengasihi manusia serta memberikan otonomi-ekonomi, politik ekonomi yang besar kepada bumiputra di Filipina maka, imperialisme Amerika masih dapat membuat kekacauan di sana.

a. India

Meskipun Waren Hasting dan Lord Clive membunuh dan merampok, perbuatan mereka tidak boleh disamakan dengan perbuatan Daendels, van den Bosch serta lain-lain, sebab sistem kolonial Inggris dari segi "material dan riwayat" jauh lebih mendingan daripada sistem Belanda (tentu saja kita tak menghendaki imperialisme macam apa pun). Nafsu membunuh dan merampok dari imperialisme Inggris tak dapat menghancurkan kemauan bangsa India.

Kemauan itu memperlihatkan dirinya terutama dengan barang-barang hasil India yang belum dirampok oleh Inggris. Setelah mengalami beberapa perjuangan politik dan ekonomi, dapatlah bangsa India mendirikan industri, pertanian besar, dan perdagangan besar nasional. Selain itu, imperialisme Inggris mengadakan sekolah dari tingkatan terendah sampai sekolah-sekolah tinggi (lebih dari lima universitas) dan semenjak beberapa lama telah mengadakan sistem pemerintahan sampai kepada "dominion" atau lebih jauh lagi. India telah mempunyai seorang Tilak, Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr. C. Bose dan Dr. Naye yang termashur ke seluruh dunia. Sekalian kaum terpelajar ini dilahirkan dalam pengakuan imperialisme Inggris.

Karena Inggris di negerinya sendiri mempunyai bahan-bahan untuk industri (arang dan besi), dengan sendirinya ia menjadi bengkel dunia. Sebab ia tak mempunyai kapas pada permulaannya, dijadikanlah India sebagai kebun kapas. Selain itu, sebagai negeri industri yang mempunyai penghasilan yang amat besar, Inggris membutuhkan pasar-pasar. Karena itulah, tanah Inggris (negeri industri semata itu) terpaksa bekerja bersama-sama dengan India, meskipun pada permulaannya secara tak langsung. Bukankah firma-firma dan maskapai-maskapai, baik impor atau ekspor dalam perdagangan yang sedemikian besarnya antara Inggris dan India, membutuhkan kaum saudagar pertengahan bangsa India sebagai perantaraan? Dan lagi bukankah tak selamanya "bayonet" dapat memaksa suatu bangsa untuk membeli barang-barang? Mau tak mau ia mesti menaikkan taraf hidup, jika ia ingin memperoleh pembelian yang tetap. Inilah yang memaksa imperialisme Inggris memberikan pendidikan Barat kepada segolongan bangsa India. Sekolah Tinggi pertama di Benggala yang sekarang sudah berusia 100 tahun, yang pada mulanya hanya boleh dimasuki oleh anak orang kaya dan aristokrasi, kemudian dibenarkan juga buat anak orang biasa.

Dalam waktu yang singkat, sekolah-sekolah tinggi itu pun menghasilkan sekian banyak kaum terpelajar, hingga birokrasi Inggris tak dapat menerima mereka sama sekali. Timbullah di sana kelas yang terdidik secara Barat dan yang merasa tak senang, yaitu kaum buruh halus. Dari kelas inilah kemudian lahir beberapa orang pemimpin pergerakan kemerdekaan yang terkenal sebagai ekstrimis, yakni kaum kiri. Demikianlah, imperialisme Inggris melahirkan musuhnya serta menggali kuburnya sendiri.

Dengan pimpinan Tilak yang termashur itu, timbullah aksi boikot pada tahun 1900-1905. Maksudnya supaya industri dan perdagangan nasional hidup, yaitu dengan jalan memboikot barang-barang pabrik Inggris yang diimpor ke India (kapas ditanam di India, sesudah itu dikirimkan ke negeri Inggris, dengan harga yang berlipat ganda dijual pula kepada pembeli bangsa India).

Dengan mempergunakan barang-barang yang belum dirampok "sebagai senjata", kaum terpelajar memperoleh kemenangan. Tuan tanah yang besar-besar dan saudagar-saudagar memberikan pertolongan berupa kapital, semangat dan alat untuk memenuhi program kaum ekstrimis. Meskipun penuh dengan rintangan-rintangan politik, ekonomi, keuangan dan alat yang luar biasa dapat jugalah Tilak dan kawan-kawannya meraih kemenangan. Berbagai industri, termasuk industri tenun — industri nasional waktu sekarang — adalah buah tangan yang terpenting dari Tilak dan kawan-kawannya. Pun industri itu sudah mempunyai lapangan internasional. Sebagian besar kemenangan itu juga tergantung pada pertolongan buruh dan tani bangsa India.

Berdiri di atas kemenangan Tilak, dapatlah Mr. Gandhi meraih kemenangan dalam pergerakan noncooperation atau gerakan boikot. Hampir semua pabrik tenun di Bombay (lebih kurang 200 jumlahnya) sekarang dimiliki dan dikelola oleh otak dan tenaga India. Kapas Inggris terpukul dalam persaingan yang hebat, bukan saja di India tetapi juga di Afrika, Melayu, Tiongkok dan lama-kelamaan juga di Eropa.

Undang-undang perdagangan India belakangan ini melindungi kapas keluaran India. Tidak sedikit kebun-kebun firma dan bank sekarang bekerja dengan kapital India dan dipimpin oleh bangsa India. Industri-industri seperti arang dan besi; serta industri logam yang modern sekarang dipegang oleh bangsa India. Jika waktu perang dunia Inggris membeli gerobak kereta api dari "Tata Coy", sekarang (semenjak lebih kurang 2 tahun) ia membuat perjanjian akan membeli juga mesin-mesin kereta api. Pendeknya, tanpa kekerasan imperialisme Inggris, kapital nasional India berdiri — yang berakibat perjuangan yang tak mau kalah, yang kadang-kadang menimbulkan pertumpahan darah. India sekarang ada di zaman industri besar yang modern. Negeri Inggris bukan lagi jadi pusat bengkel di dunia meskipun di dalam kerajaannya sendiri; dan India bukan lagi kebun kapas bagi Britania.

Setelah Inggris takluk dalam percaturan ekonomi, terpaksalah ia mengakui kemenangan India dalam politik. Di sana sekarang berdiri industri nasional yang kepentingan materialnya dalam beberapa hal bersamaan dengan kepentingan penjajah. Tinggal lagi bagi Inggris memberikan konsesi-konsesi politik kepada wakil-wakil tuan tanah yang besar dan borjuasi modern.

Memang inilah artinya kerja islah pemerintahan negeri yang telah bertahun-tahun dilakukan — MontageuChelmsfordsplan. Daerah besar-besar yang berpenduduk 50,000,000 seperti Benggala dan Daerah Tengah setelah diadakan islah (hervorming) dengan perantara majelis-majelis daerah, hampir jatuh ke tangan bangsa India sepenuhnya. Pemilihan dewan yang tertinggi (Duma bangsa India), dipengaruhi oleh kaum Swaray, militer, perguruan, dan pengadilan, dalam beberapa tahun ini disediakan - ditempati oleh putera-putera India yang cakap dan setia.

Meskipun demikian, belumlah ada satu perwakilan rakyat (parlemen) dan kabinet yang bertanggung jawab. Sungguhpun islah pemerintahan India jauh lebih sempuma dari Dewan Rakyat ala Belanda, tetapi belum sampai seperti Dominion Canada, konstitusi Filipina atau Mesir. Tetapi sejumlah pemimpin dan kaum ekstremis dapat ditarik hatinya oleh islah itu. Karena itu pergerakan kaum revolusioner untuk sementara waktu "terkandas" hingga imperialisme Inggris memperoleh kesempatan untuk menarik napas.

b. Filipina

Keadaan di Filipina berlainan sedikit dengan di India. Bangsa Amerika datang, pada tahun 1898, waktu bangsa Filipina telah "tiga perempat berhasil" melemparkan kekuasaan Spanyol. Awalnya Amerika berlaku sebagai kawan, tetapi setelah kokoh pendiriannya dia tinggal terus dalam negeri itu. Perang Filipina -Amerika yang 33 tahun lamanya (1898-1901) tak berhasil menghalau pencuri itu. Sebelum kedatangan Amerika, bangsa Filipina sudah dapat menunjukkan beberapa nasionalis besar seperti Dr. Rizal (yang ditembak orang Spanyol dari belakang); seorang organisator, Bonifacio, seorang diplomat Mahbini dan panglima perang Luna serta Aquinaldo.

Karena itu perlulah dipakai suatu tipu daya yang sangat fisik untuk mengelabui mata sebuah bangsa yang gagah lagi cerdik, seperti rakyat Filipina itu.

Disebabkan oleh kebesaran dan kekayaan Amerika dan oleh salah satu paham anti-imperialisme di antara bangsa Amerika yang berpengaruh, dengan segera kaum imperialis mengerjakan islah. Politik dalam negeri, dengan perantara "Senat" dan "House of Representative", sekarang boleh dikatakan ada di dalam tangan bumiputra. Semua wakil dari kedua dewan itu — kecuali dari beberapa daerah Islam — dipilih dengan hak memilih yang sepenuh-penuhnya dan semuanya adalah orang Filipina. Sebagian besar gubernur dari daerah-daerah adalah juga orang Filipina. Hanya beberapa kepala departemen saja orang Amerika. Di dalam satu konstitusi, Amerika mesti berjanji akan memberikan "kemerdekaan" yang seluas-luasnya "kepada bangsa Filipina setelah mereka dapat menunjukkan kecakapan mendirikan pemerintahan yang tetap".

Sekolah rendah diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan mementingkan pertanian.

Perusahaan yang menjadi pokok dari ekonomi Filipina sekarang dipegang oleh bumiputra sepenuhnya. Beberapa pabrik, rumah-rumah perdagangan dan maskapai-maskapai kapal adalah kepunyaan atau dipimpin oleh orang Filipina. Empat buah Universitas dan beberapa sekolah tinggi setiap tahun meluluskan putera dan puteri Filipina dalam jumlah besar untuk mempertahankan bangsa yang 12,000,000 jiwa itu dari tipu daya dan kecurangan Amerika.

Hanya sedikit sekali penduduk yang buta huruf. Boleh dikatakan semua anak-anak masuk sekolah. Hingga sampai ke sudut-sudut yang jauh, selain dari bahasa sendiri, pemuda-pemudanya mengerti bahasa Inggris.

Biarpun perguruan di sana tak menyenangkan hati seorang Belanda yang terpelajar seperti Dr. Nieuwenshuis - yang tentu sekali akan selamanya menjilat-jilat kudis pemerintahannya sendiri, sambil menghinakan perbuatan orang lain, tetapi karena ketinggian intelek Filipina, orang-orang Amerika yang hebat dan kaya-kaya itu tak dapat berbuat sesuka hatinya sendiri.

Sebab Amerika pada tahun 1925 mesti membayar harga karet f 540,000,000 lebih banyak daripada tahun 1924 kepada Inggris, timbullah pikiran orang Amerika untuk membuka kebun di Filipina Selatan yang tanahnya bagus buat karet.

Tetapi pemimpin-pemimpin Filipina bekerja keras untuk menghindari terkaman "serigala-karet" bangsa Amerika. Sebelum mereka bertindak lebih jauh buat memperoleh tanah yang luas untuk kebun karet, dalam konsesi — berkat usaha pemimpin-pemimpin Filipina, anggota Senat dan House dengan hukum tanah (landwet) nya yang lama ditentukan bahwa "tidak lebih dari 2500 acres (satu acre 4840 yard persegi) yang boleh disewakan kepada orang asing. Belum berapa lama berselang serigala karet itu, dengan perantaraan Firestone datang meminta konsesi untuk kebun karet itu. Mereka disambut dengan perkataan bahwa hukum tanah Filipina "tidak memberi izin".

Pemimpin-pemimpin Filipina berpendapat bahwa apabila Amerika menanam kapitalnya di Filipina, selain rakyat segera akan menjadi sengsara (seperti di Jawa) juga Amerika akan mendapat satu alasan untuk merintangi kemerdekaan Filipina. Imperialisme Amerika yang tidak kurang cerdiknya dari imperialisme Anglosakson bukankah kelak dapat mengatakan, bahwa satu kegoncangan boleh jadi akan muncul karena kepergian Amerika yang belum pada waktunya? Kepentingan-kepentingan Amerika membahayakan di Filipina.

Inilah sebabnya maka pemimpin-pemimpin Filipina dengan tergesa-gesa mengeluarkan hukum tanah tersebut dari kitab undang-undang dan membeberkannya kepada seluruh rakyat... Layaknya sebuah kampung kedatangan seekor macan.

Sebuah bangsa yang sudah terbuka matanya seperti Filipina, tambahan pula diberi wawasan oleh surat-surat kabar bumiputra (disebabkan sekolah tinggi yang dikutuki Dr. Nieuwenshuis yang terpelajar itu!), dapat melihat dan melaksanakan kebenaran dari pemimpin-pemimpinnya. Dengan diiringi oleh seluruh rakyat, dapatlah pemimpin-pemimpin Filipina setiap waktu memanah serigala karet imperialisme Amerika dengan panah hukum tanah yang liat itu.

Tidak seorang pun yang mencela sistem perguruan yang tidak nasional itu selain dari pemimpin-pemimpin Filipina sendiri. Selain itu pun ada kesulitan-kesulitan untuk mengambil peran perdagangan dari bangsa asing. Tetapi semuanya mereka sekata (semufakat) bahwa sistem perguruan yang sehat dan perubahan ekonomi yang sebaik-baiknya hanya dapat dilakukan dengan sempurna setelah tercapai kemerdekaan bangsa. Dan di sudut dunia manakah hal itu dipandang secara berlainan? Adanya Gubernur Jendral yang mempunyai hak mencegah (recht van veto) menjadi rintangan bagi islah ekonomi yang semata-mata bagi bangsa Filipina. Itulah sebabnya, saudara-saudara kita di sebelah utara sana masih terus berjuang semata-mata untuk kemerdekaan yang seluas-luasnya.

Konsesi yang besar-besar, yang dengan terpaksa diberikan oleh Amerika mulai 25 tahun yang silam tak dapat mendinginkan sanubari bangsa Filipina untuk merampas hak kelahiran dan kemerdekaannya.

Seandainya yang dipertuan bangsa Filipina bukan Amerika (satu negeri yang terkuat dan terkaya di atas dunia), tetapi "perampok di tepi Laut Utara (Belanda) yang termashur itu", niscaya telah lama yang dipertuan itu dihalau mereka masuk ke dalam neraka.

Inggris menguasai karet lebih dari dua pertiga dan Amerika memakai 72 % dari hasil dunia. Disebabkan masih berlakunya "Stevenson Rubber Restriction's policy", tuan-tuan kebun dan mereka yang mempunyai monopoli, bangsa Inggris sajalah yang menguasai karet sedunia ini — verslag kamer van koophandel Amerika yang diumumkan dalam Manila Tribune, 26 Juli '25.

c. Indonesia

Keadaan India dan Filipina yang saya kemukakan di atas, saya maksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang imperialisme.

Perihal Indonesia, sekarang dan nanti, akan kita uraikan di belakang dengan panjang lebar. Setelah memperhatikan semua yang diuraikan di atas, niscaya tak sudah bagi pembaca untuk mengartikan perampokan, pembakaran, dan pembunuhan yang dilakukan orang Belanda. Karena itu, kita tidak akan berlama-lama menggambarkan hongi-hongi (merica di Ambon), kebun kopi yang sekarang dipanggil penanam merdeka. Semuanya telah terkenal dan dikutuki oleh setiap manusia yang berotak.

Jauh dari maksud kita mengatakan bahwa sekalian kejadian itu adalah semata-mata perbuatan "manusia" Belanda. Kita sendiri telah cukup mengenal pekerti dan tabiat bangsa Belanda. Tetapi lagak dan lagu imperialisme Belanda menjadikan seorang bangsa Belanda seperti yang kita kenal dulu dan sekarang — jahat dan bengis.

Tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia, waktu itu negeri mereka hanyalah negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.

Juga sekarang negeri itu masih tetap tinggal sebagai negeri tani dan saudagar. Dan ia tidak akan menjadi lain, karena ia tak mempunyai bahan dasar untuk industri besar, yakni arang, besi dan kapas. Sekiranya negeri Belanda tidak mempunyai tanah jajahan niscaya ia tak dapat menyamai Belgia atau Swedia.

Setinggi-tingginya ia hanya satu negeri tani dan saudagar-saudagar kecil yang sunyi seperti Denmark.

Dengan keberanian dan kemauan seorang bajak laut serta ketamakan seorang tukang warung kopi yang kecil, habislah sekalian hasil negeri Indonesia dirampasnya. Tak ada sebutir batu pun untuk perumahan ekonomi bumiputra yang ketinggalan. Bagaimana mungkin kita harapkan pemerintahan bijaksana dari bajak laut, tukang warung kecil ini ! (Hoe kan men okk vooruitziensheid en staatsmanschap van een piraat - kruidenier verwachten!).

Sebelum datang Kompeni Hindia-Timur, orang Tionghoa, Hindu-Arab (lama-kelamaan) menjadi orang Jawa atau setidak-tidak terus tinggal di negeri ini, tetapi bangsa Belanda datang ke Indonesia dan balik ke negerinya dengan karung yang penuh berisi. Di sana dihambur-hamburkan uang Indonesia dan di sanalah mereka menyedot dana pensiunnya dari peti uang Indonesia. Akibatnya, bocor dan keringlah ekonomi Indonesia!

Sekiranya negeri Belanda adalah sebuah negeri industri yang maju niscaya lambat laun terpaksalah ia seperti Inggris dan Amerika, memakai politik yang lain.

Ia tentu akan memakai politik liberal terhadap orang Jawa atau Indo-Jawa serta bangsawan Jawa. Dengan demikian, kemajuan politik dan ekonomi sebagai sekarang terjadi di Filipina dan India, boleh juga terjadi di Indonesia. Biarpun Belanda semenjak 20 tahun belakangan ini mulai mengindustrialisasi Indonesia, tetapi tujuannya tetap monopoli. Kapitalnya tetap kapital luar negeri.

Jurang antara penjajah dan si terjajah sekarang masih tetap sebagai di zaman Daendels dan van den Bosch. Hanya suara revolusi yang gemuruh sajalah yang dapat menimbun jurang yang dalam itu.

Tetapi agaknya oleh karena hal inilah maka Indonesia dan negeri-negeri Asia yang lain kelak memberi selamat kepada imperialisme yang dipertahankan Belanda itu. Sebab dari pertentangan sosial yang tajam di Indonesia itu, satu masa niscaya akan timbul kodrat baru yang dapat melepaskan Indonesia dan seluruh Asia dari tindakan Barat untuk selama-lamanya.


Continue Reading...
 

Blogroll

Site Info

Text

CERDAS POS Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template