08 Mei 2008

BERCERMIN PADA NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Mengurai kota Yogyakarta ibarat memandang taman bunga. Beraneka ragam. Warna-warni kembang bermekaran dan membuat hati selalu terpikat. Pesona Yogyakarta menjadi sempurna ketika hal itu memberi kekaguman bahkan kedamaian. Sugesti akan kejernihan pemerintahan Yogyakarta menjadikan atmosfer kota gudeg terilustrasi mengesankan. Bukan sebuah ilustrasi bombastis yang serba hiperbolik, melainkan penggambaran realita yang sedikit disandingkan dengan hiruk pikuk persoalan di belahan Nusantara lainnya.
Yogyakarta menyandang berbagai predikat. Sebagai kota perjuangan, kota pariwisata, kota pendidikan, kota kebudayaan, bahkan kota sejarah. Yogyakarta mempunyai filosofi budaya serta sejarah yang sangat komplek. Pengklaiman ini sangat simetris jika dipadukan dengan arti Ngayogyakarta sendiri. Menurut Babad Gianti, nama Yogyakarta diberikan oleh Paku Buwono II (raja mataram tahun 1719-172). Yogyakarta diartikan Jogja yang kerta (Kota yang makmur) dan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti kota yang makmur dan utama.
Selain segudang predikat di atas, Yogyakarta juga memiliki slogan “Yogyakarta berhati nyaman”. Hal ini tercermin dari kehidupan Yogyakarta yang adem ayem diantara kemajemukannya. Dikatakan oleh Bupati Bantul, Idam Samawi, dalam acara launching buku PENDAPA Tamansiswa “Jogja dalam Keistimewaan”, Idam mengungkapkan bahwa,”Yogyakarta adalah miniature Indonesia, dimana di Yogyakarta hidup berbagai penduduk berlainan suku, ras, budaya dan agama secara berdampingan.” Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Prof Bakdi Sumanto yang ditemui oleh kru Pendapa di kediamanya. “Jogja ini memiliki sesuatu yang menonjol yaitu kepluralannya. Dimana di Jogja ini tumbuh berbagai macam budaya, sehingga tidak terjadi dominasi-doninasi budaya. Hal yang terpenting adalah jauhkan pikiran The Other. Seperti yang terjadi di Jogja yang ada adalah kita semua sama, sesuai dengan kebudayaan jawa”
Secara geografis DIY mempunyai luas 318.581 ha dengan penduduk kuramg lebih 3 juta jiwa. Sampai saat ini Yogyakarta diakui sebagai kota pendidikan. Berbagai kampus dan sekolah tinggi tumbuh dengan nyaman di Yogyakarta, ribuan pelajar lokal, luar kota maupun Internasional berbondong-bondong datang ke Yogyakarta demi turut mengenyam studi di kota gudeg ini. Di Yogyakarta terdapat lebih100 buah lembaga pendidikan tinggi dan lembaga akademis, baik lembaga yang didirikan oleh negeri maupun swasta. Jumlah Perguruan Tinggi dan lembaga pendidikan tinggi lainnya sebanyak 127, itu pun belum termasuk lembaga keterampilan. Hal ini menganut korelasi berbanding lurus terhadap peningkatan jumlah mahasiswa di Yogyakarta baik yang berasal dari Yogyakarta sendiri maupun dari seluruh penjuru Indonesia.
Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya Jawanya. Seni dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sejak masih kanak-kanak sampai dewasa, masyarakat Yogyakarta akan sangat sering menyaksikan dan bahkan, mengikuti berbagai acara kesenian dan budaya di kota ini. Bagi masyarakat Yogyakarta, di mana setiap tahapan kehidupan mempunyai arti tersendiri, tradisi adalah sebuah hal yang penting dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Tradisi juga pasti tidak lepas dari kesenian yang disajikan dalam upacara-upacara tradisi tersebut. Kesenian yang dimiliki masyarakat Yogyakarta sangatlah beragam. Dan kesenian-kesenian yang beraneka ragam tersebut terangkai indah dalam sebuah upacara adat. Sehingga bagi masyarakat Yogyakarta, seni dan budaya benar-benar menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Masih menurut pakar budaya Bakdi Soemanto, keserasian budaya yang ada di Jogja ini tidak terlepas pada figure kepemimpinan di mana figure kepemimpinan yogyakarta tidak terlepas dari sosok Sri Sultan. Menurutnya, ciri kepemimpinan Sultan yang patut dicontoh untuk pemimpin yang ingin memajukan Indonesia ialah Tahta untuk rakyat atau Manunggal Ing Kawula Gusti dan penerapan ponco-ponco Tamansiswa inggarso sungtulodo, ing madyo mangun karso dan tutwuri handayani oleh Sri Sultan. Lebih lanjut Bakdi menjelaskan, apa yang telah dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana X tidak terlepas dari didikan ayahandanya yang tak lain adalah Hamengku Buwana IX. “Jadi menurut saya didikan Hamengku Buwana IX berhasil, perlu diingat Sultan yang sekarang ini adalah sosok yang sangat demokratis sehingga wajar jika mampu mensinergiskan kemajemukam budaya,”. Terlepas dari semua itu, menurut Bakdi, Sri Sultan sejak kecil telah diajari untuk hidup mandiri, maka tidak heran jika Sultan disamping seorang Gubernur beliau juga seorang pedagang, bisnisman, politikus dan pemikir.
Akhir-akhir ini, environment Yogyakarta agak memanas. Isu demokrasi yang sebelumnya marak terjadi di wilayah lain Indonesia, kini mencuat di Yogyakarta. Salah satu pemicunya tak lain akibat penyataan Sri Sultan Hamengkubuwono X pada orasi budaya tanggal 7 april 2007 yang bertepatan dengan hari Ulang Tahun Sri Sultan yang ke-61. Sri Sultan Hamengku Buwono X bertutur bahwa Beliau tidak bersedia lagi menjadi Gubernur DIY untuk periode berikutnya. Banyak spekulasi yang timbul dari statement ini, baik dari kalangan budayawan, politikus dan masyarakat Yogyakarta sendiri. Sampai saat ini belum ada alasan yang jelas dari pihak Sultan sendiri mengenai ketidak bersediaanya untuk menjadi Gubernur lagi.
.Masyarakat Yogyakarta masih dalam kebimbangan dan masih menerka-nerka siapa pengganti Gubernur Yogyakarta berikutnya. Ketika ada statement Sri Sultan menolak untuk menjadi Gubernur DIY pada periode 2008 mendatang , UU keistimewaan Yogyakarta yang telah disusun jauh-jauh hari sebelum statement Sultan, kini mulai marak dibahas kembali. Walaupun demikian, hal itu belum dapat menjawab kebimbangan masyarakat selepas periode kepemerintahan sultan berakhir (jika terjadi,red).
Jauh dari pemasalahan-permasalahan itu, ada hal yang jauh lebih menarik untuk dipelajari. Dikatakan pula oleh Prof. Bakdi Soemanto, apa yang telah dilakukan oleh Sri Sultan saat ini bisa jadi merupakan message (sentilan red) untuk pemerintahan pusat. Dimana kesan pemerintahan sekarang ini lebih berorientasi pada bagaimana mencuri hati rakyat bukan merealisasikan filosofi tahta untuk rakyat seperti yang dilakukan oleh Sri Sultan. Menurut Bakdi pada dasarnya Tahta untuk rakyat yang dirumuskan oleh Hamengku Buwana IX yang ditirukan dan diteruskan oleh Sri Sultan. Terkait dengan filosofi Jawa ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasoraken yang sangat nJawani. Dimana Sultan tidak Show Up dan jauh dari kesombongan. Mengalahkan lawan dengan senyuman (kasih) yang sangat dijiwai oleh Sultan.
Sebuah opini nakal dilontarkan oleh kru Pendapa saat wawancara dengan Bakdi Soemanto. Jika raja bumi Mataram benar-benar mengemban tahta untuk rakyatnya hingga rela turun berperang hanya demi rakyat maka tidak mungkin bahwa yang dibutuhkan untuk NKRI ini adalah seorang raja bukan seorang Presiden. Menanggapi hal ini Bakdi menjawab hal ini dengan bijaksana “Permasalahannya seperti ini. Adakah kemungkinan Sultan untuk masuk dalam percaturan politik Indonesia? Apakah Sultan mempunyai kesempatan, di mana politik Indonesia ini marak dengan money politik? Wah, lha, Cilaka iki!” masih menurut Bakdi, Sultan adalah seorang yang sangat menahan diri “Sri Sultan itu orangnya restrain, tidak seperti Jusuf Kalla yang maju-maju, atau Sutiyoso nah apakah nanti tidak kalah strong” menurutnya sebagai orang jawa Sri Sultan semendeh pasrah pada Allah (semeleh), seandainya nanti ada jalan untuk memerintah Indonesia pastilah Sultan akan jadi Presiden.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogroll

Site Info

Text

CERDAS POS Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template