17 Mei 2009

PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN PERS MAHASISWA INDONESIA


PERNYATAAN SIKAP
Pendidikan merupakan hak dasar setiap manusia, dan pemenuhan atas hak ini menjadi kewajiban Negara/pemerintah dalam mewujudkannya. Tidak terpenuhinya hak dasar ini merupakan kegagalan Negara dalam memberikan salah satu pelayanan publik kepada rakyat. Salah satu golongan masyarakat yang kerap diabaikan aksesibilitasnya dalam bentuk pendidikan adalah rakyat miskin yang kerap menjadi bagian rakyat yang dilupakan.
Sangat jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditetapkan amanat bagi pemerintah Negara Indonesia, untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam butir mengenai memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, jelas bahwa pemerintah wajib melindungi hak asasi setiap penduduknya untuk mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya demi peningkatan kesejahteraan setiap individu Indonesia.
Namun landasan tersebut tidak sepenuhnya terealisasi, karena pemahaman akan yudiris dan normatifnya belum sepenuhnya. Akhirnya perbedaan persepsi muncul dan menjadi problem besar. Artinya keputusan akan arah pendidikan bangsa ini tidak terbaca alias samar-samar. Dan yang jelas ada keputusan atau kebijakan yang belum menggambarkan keadilan dalam pendidikan di tanah air. Berikut beberapa tuntutan dan pernyataan sikap dari kami:

1. Menolak Komersialisasi Pendidikan
Motif dari banyaknya institusi pendidikan yang bernafsu menjadi mendapatkan gelar sekolah favorit, ISO, SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), BHP latarbelakangnya oleh motivasi menjadi institusi pendidikann yang bermutu. Yang dimaksud disini, persepsi tradisional bahwa ketenaran, prestisius, dan kebanggaan serta penghargaan adalah harga mati. Dan, harga mati itu hanya dapat dicapai oleh suatu institusi jika sudah mencapai status tersebut. Hal ini juga dikarenakan tujuh universitas yang telah sah mencapai status itu adalah universitas yang dianggap terbaik di Negeri ini.

2. Akses Pendidikan Bermutu Bagi Seluruh Lapisan Rakyat Indonesia.
Pendidikan yang bermutu sangat sulit di peroleh bagi mereka yang tidak mampu secara finansial. Jika ada sekolah gratis ataupun beasiswa bagi rakyat miskin, mutu pendidikan yang diberikan mutunya rendahan. Artinya disini ada pengkotak-kotakan atau klasifikasi akses. Yang kaya mendapat mutu paling bagus, sementara yang miskin walaupun murah, mutunya tidak bagus.

3. Anggaran Pendidikan 20 persen yang Disediakan Kepada Masyarakat
Anggaran yang diberikan masih setengah hati. Terbukti gaji guru dan pegawai termasuk didalam anggaran ini. Artinya pemerintah sudah tidak mampu memberikan anggaran pendidikan sepenuhnya kepada rakyat sebagai pelayan publik.

4. Otonomi Pendidikan
Semua itu berawal dari salah kaprah desain sistem pendidikan kita yang tertuang dalam UU maupun aturan tentang pendidikan. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Yang pada pasal 53, pada ayat 1 didalamnya, mengamatkan diterapkannya konsep BHP (Badan Hukum Pendidikan) untuk semua satuan pendidikan formal. Otonomi ini kemudian disalah artikan dari sisi finansial saja. Seharusnya ada kesepahaman bersama tentang konteks otonomi ini.

5. Logika Pasar dalam Pendidikan
Pendidikan yang seharusnya menjadi pencerahan bagi masyarakat, ternyata telah diperjual belikan. Harapan hadirnya institusi pendidikan dalam satu wilayah tertentu sebagai solusi atas permasalahan masyarakat. Namun saat ini kehadirannya malah menjadi beban, bukannya solusi dari kebutuhan itu. Masyarakat sekitar bukannya dianggap orang-orang yang harus ‘diadvokasi’. Sebaliknya, menjadi pasar potensial untuk menjual gengsi.

6. Cabut UU BHP
Beberapa bagian dari UU BHP perlu ditinjau ulang. Kerena menghambat akses pendidikan yang bermutu bagi rakyat miskin. Dan mendesak secepatnya pemerintah menerbitkan undang-undang BHP yang telah disahkan. Agar kritik dan perbaikan dari seluruh elemen bangsa Indonesia dapat menjadi masukan bagi kebijakan pemerintah yang sepihak. Berikut beberapa bagian dan pasal dalam UU BHP yang perlu di tinjau ulang:

a. Aspek Pendanaan
Pasal 41 ayat 4
Pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit sepertiga (1/3) dari biaya operasional pada BHPP dan BHPPD yang menyelenggarakan pendidikan menengah (SMA).
Pasal 41 ayat 7
peserta didik yang menanggung paling banyak 1/3 dari biaya operasional tersebut.
Pasal 41 ayat 6
pemerintah bersama-sama dengan BHPP menanggung paling sedikit seperdua (1/2)biaya operasional, pada BHPP yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Pasal 41 ayat 9
Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi paling banyak sepertiga dari biaya operasional.

b. Aspek kurikulum
Pasal 4 ayat 2
Salah satu prinsip pengelolaan pendidikan formal oleh BHP adalah otonomi.
Pasal 33 ayat 2
tentang tugas dan wewenang organ pengelola pendidikan tinggi)
menyusun dan menetapkan kebiajakan akademik bersama dengan organ representasi pendidik.
Pasal 15 ayat 2
Organ BHP yang menjalankan fungsi badan hukum pendidikan terdiri atas 4 elemen:1. Organ representasi pemangku kepentingan 2. organ representasi pendidik. 3. organ audit bidang nonakademik 4. organ pengelola pendidikan
Pasal 18 ayat 1
organ representasi pemangku kepentingan merupakan organ tertinggi BHP dalam penyelenggaraan pendidikan formal.
Pasal 19 ayat 3
pendidikan tinggi jumlah anggota organ representasi pemangku kepentingan yang berasal dari wakil organ representasi pendidik, pemimpin organ pengelolam pendidikan, dan wakil tenaga kependidikan adalah paling banyak sepertiganya (1/3). hal ini berarti 2/3 anggota dari organ ini berasal dari pemerintah dan wakil unsur masyarakat.

7. Secara Politik Menolak Pemimpin Negara yang Mendukung Komersialisasi Pendidikan.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat untuk dijadikan pertimbangan dan tindakan segera dari pemerintah. Untuk mewujudkan akses pendidikan yang bermutu bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Jogjakarta, 8 Mei 2009
Atas nama Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Se Indonesia
Yang Tergabung dalam Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
Mengetahui,
Pengurus Nasional PPMI





Fandy Ahmad
Sekretaris Jendral
Continue Reading...

30 April 2009

Satu Mai 2009:Bangun Persatuan Nasional Melawan Neoliberalisme


Departemen Agitasi dan Propoganda DPP-PAPERNAS

Selamat menyambut Hari Pekerja atau May Day. Seperti biasa, berbagai gerakan pekerja seluruh dunia akan tumpah ruah ke jalan untuk merayakan hari bersejarah ini. May day kali ini akan menjadi lebih bersemangat, lebih tumpah ruah, karena bertepatan dengan kehancuran ekonomi dan krisis politik yang dipicu oleh krisis kapitalisme. Rejim kapitalis dimana saja, telah merespon krisis dengan menyerang standard dan kehidupan sosial pekerja, seperti upah, jaminan sosial, jam kerja, dan sebagainya.

Sejarah may day telah memberikan pelajaran penting bukan hanya mengenai pengalaman perjuangan yang begitu berharga, tetapi juga pelajaran penting akan perlunya persatuan bagi kaum pekerja. Untuk pekerja, may day bukan sekedar perayaan (celebration), tetapi sebuah peringatan (commemorates) atas sebuah perjuangan pekerja melawan eksploitasi kelas kapitalis. Dalam banyak pengalaman, momen May Day tidak terlepas dari lingkup ekonomi dan politik yang sedang dihadapi oleh gerakan pekerja di mana saja; local, nasional, dan internasional.

Krisis Kapitalisme dan Kejatuhan Standar Hidup Kaum Pekerja

Kita tidak bisa meremehkan krisis sekarang ini. Hampir semua pengamat dan analis sudah memposting pendapat mereka di media dan jurnal-jurnal. Hampir seluruh analisis tersebut memiliki kesimpulan yang sama; ini adalah krisis yang cukup mendalam dan parah, lebih parah dari krisis 1929 (baca; krisis malaise). Krisis ini akan berlansung panjang dan bersifat mendalam (struktural), karena merupakan kombinasi dari krisis besar financial (great financial crisis) dan stagnasi ekonomi, krisis ekologi, dan krisis ideologi neoliberal. Kita tidak membahas penyebab dan proses krisis ini berjalan, tetapi lebih focus kepada dampaknya bagi sektor pekerja di Indonesia.

Berhadapan dengan krisis, analisi dan sejumlah asosiasi industri sudah memberikan peringatan akan adanya jutaan orang bakal kehilangan pekerjaan tahun ini, karena dampak krisis kapitalisme. Penyebabnya, kegiatan ekspor yang terus menurun. Menteri perdagangan SBY, Marie Elka Pangestu, memprediksikan ekspor Indonesia akan turun berkisar 20-30%, tetapi banyak pengamat memprediksi lebih tinggi dari angka itu. Data 1Badan Pusat Statistik menunjukkan ekspor nonmigas pada Februari turun 2,4% menjadi US$6,1 miliar dibandingkan dengan bulan sebelumnya US$6,2 miliar2.

Selama ini, perekonomian Indonesia begitu bergantung kepada ekspor. Tiga negara tujuan utama ekspor Indonesia, yaitu AS, Jepang, dan Uni eropa, sedang bergerak menuju resesi. Sedangkan china, yang beberapa tahun terakhir menjadi target tujuan ekspor Indonesia, ekonominya juga sedang melambat akibat krisis financial.

Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi gap antara kapasitas produktif industri dengan tingkat permintaan (baca; masalah realisasi). Pihak asosiasi industri mengaku, sejak tahun 2008 kapasitas produksi manufaktur turun sebesar 30%. Selain itu, hal ini telah menggerus nilai keuntungan mereka sebesar 50%3.

Di industri sepeda motor, misalnya, kapasitas terpasang industri sepeda motor domestik saat ini mencapai 7,5 juta unit per tahun. Utilisasinya menurun tajam dari 84% pada 2008 menjadi hanya 58%. Permintaan sepeda motor tahun ini diperkirakan menyusut menjadi 3,78 juta unit hingga 4,4 juta unit.

Dalam krisis, para kapitalis akan berupaya menjaga profitabilitas dengan menekan upah dan komponen-komponen yang berhubungan dengan pengeluaran untuk pekerja. Sebagai misal, tahun lalu, ketika pemerintah bereaksi untuk menolong pengusaha dari kejatuhan tingkat keuntungan dengan memaksakan pemberlakuan SKB 4 menteri. Bagi pengusaha, kebijakan ini bermanfaat untuk menahan laju kenaikan upah pekerja.

Perjalanan krisis, setidaknya sejak september 2008 lalu, telah mengarahkan kaum pekerja pada kesulitan luar biasa, antara lain; pertama, ancaman PHK massal. Berdasarkan perkiraan, setidaknya 2-3 jutaan pekerja terancam kehilangan pekerjaan. data Apindo daerah menyatakan, sampai Maret sudah ada 240.000 orang yang kena PHK. Repotnya, itu terjadi pada sektor-sektor usaha yang penting dan bersifat padat karya, seperti tekstil dan garmen sebanyak 100.000 orang, sepatu (14.000), mobil dan komponen (40.000), konstruksi (30.000), kelapa sawit (50.000), serta pulp and paper (3.500)4.

Kedua, selain ancaman PHK, pekerja mengalami tekanan secara drastis pada upah dan jaminan sosial. Kenaikan UMR pada tahun 2009 tidak melebih 10%, padahal kenaikan harga kebutuhan pokok lebih tinggi dari angka tersebut. Sebagai contoh, UMR DKI hanya ditetapkan Rp. 1.096.865, sementara hasil penelitian sejumlah lembaga memperlihatkan kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja lajang adalah Rp. 1,5 juta keatas. Hasil penelitian Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI)5 juga menunjukkan bahwa tingkat upah sekarang ini menyulitkan pekerja memenuhi kebutuhan dasarnya.

Ketiga, neoliberalisme benar-benar menjatuhkan standar hidup rakyat Indonesia, termasuk kelas pekerja. Berdasarkan penelitian Roy Morgan Research, terdapat 59% penduduk Indonesia yang tidak lagi regular menyimpan uang. Kemudian, 59% penduduk Indonesia yang harus menghabiskan 20-30% anggaran bulannya hanya untuk membeli bahan makanan. Dengan kondisi demikian, dapat dipastikan bahwa sekitar 60% populasi Indonesia kesulitan dalam mengakses tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan.

Berlanjutnya Kekuasaan Rejim Neoliberal

Sialnya, harapan bahwa pemilu 2009 dapat melahirkan warna baru dalam kebijakan politik untuk merespon krisis, ternyata justru menjaga kesinambungan rejim neoliberal sebelumnya. Sementara ini, partai –partai sayap kanan dan pendukung neoliberal terlihat mendominasi hasil pemilihan. Lebih spesifik lagi, partai-partai yang memperkuat formasi neoliberal di Indonesia memenangkan pemilihan, seperti Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, dan lain-lain.

The Econimist menggambarkan pemilu Indonesia sebagai berikut; “sebuah karnaval dari kompetisi demokratis: lambaian bendera dan umbul-umbul, prosesi klakson dan bunyi-bunyi keras; iklan kampanye di TV; rally massa dengan beberapa pidato; pemberian kaus gratis, uang 20 ribu kepada setiap peserta kampanye, dan yang terpenting, bernyanyi dan berjoget….hal ini untuk menyatakan absennya perdebatan politik dan hilangnya spirit6.

SBY mendapat dukungan kuat dari klas kapitalis di Indonesia dan dunia karena agenda neoliberalnya. Sejak memerintah, dari 2004-2009, administrasi SBY benar-benar menjaga komitmen terhadap pasar bebas; Indonesia benar-benar menjadi surga bagi investasi asing dan perusahaan multinasional. Dalam sebuah pertemuan dengan kamar dagang industri dari negeri-negeri kapitalis maju di Jakarta, pada akhir bulan lalu, SBY berjanji akan melanjutkan kebijakannya yang “bersahabat” dengan modal asing7.

Dengan dukungan sebesar itu, baik klas kapitalis internasional maupun di dalam negeri, SBY berhasil mengumpulkan dana dan logistik paling besar. Dia juga berhasil mengontrol dua institusi penting, yaitu KPU dan kepolisian. Melalui kedua institusi ini, SBY mengorganisasikan kecurangan secara sistematis di hampir semua TPS seluruh Indonesia. Kunci permainannya adalah DPT fiktif. Dengan DPT fiktif, SBY berhasil menggembosi suara partai-partai lawan, dan memperbesar suara partainya sendiri.

Selain karena faktor kecurangan, faktor lain yang memungkin kemenangan SBY adalah; pertama, Peran media massa, lembaga survey, dan pembuat opini publik dalam menaikkan popularitas SBY di hadapan rakyat. secara praktis, politik pencitraan SBY digerek oleh dua hal, yaitu; politik media dan hasil-hasil survey. Kedua, ketepatan dalam menggunakan kartu, seperti menurunkan harga BBM, BLT, PNPMandiri, KUR, dsb, pada saat menjelang hari pemilihan. Ketiga, Absennya gerakan anti neoliberal yang massif sebelum dan pada saat kampanye pemilihan. Hampir tidak ada serangan politik berarti dari kelompok oposisi maupun organisasi pergerakan. Padahal, jauh sebelum itu, SBY telah unggul secara organisasi karena sudah berhasil memecah belah partai-partai lain, seperti PDIP, PKB, PPP, dan Golkar.

Dengan situasi politik diatas, bagaimana dengan pemilu presiden? Sebetulnya, pemilu legislatif sudah sangat menggambarkan kemungkinan kubu-kubu yang bertarung dalam pilpres, yakni SBY versus Megawati. Dan jika benar begitu, maka sudah dipastikan rejim SBY akan kembali memenangkan pemilu presiden, dan kembali memegang mandat untuk menjebak Indonesia kedalam scenario neoliberalisme.

Hanya saja, dengan memperhatikan komposisi dan konfigurasi kekuatan pro-neoliberal yang terpetakan dalam hasil pemilu legislatif, maka dapat diperkirakan bahwa kebijakan neoliberal yang dihasilkannya jauh lebih dahsyat, lebih agressif, dan lebih brutal lagi. Untuk memperkuat dugaan ini, disini setidaknya ada beberapa alasan; pertama, Dengan krisis sekarang, sistem kapitalisme internasional membutuhkan suntikan capital dari negeri-negeri dunia ketiga (peripheri). Hal ini diperoleh hanya dengan memaksakan tingkat akumulasi dan eksploitasi terhadap tenaga kerja dan sumber daya material di negeri-negeri berkembang. Kedua, sebagai partai pemenang pemilu (20%), demokrat punya peluang besar menggalang koalisi besar di parlemen dan menyapu kursi-kursi yang ada. Dengan demikian, SBY telah menyapu jalannya dari oposisi yang sering mengganggu di parlemen.

Berarti, jika SBY kembali menjadi presiden dan koalisi pro-neolib mendominasi parlemen, maka tidak ada hambatan pula bagi keluarnya serangkaian kebijakan neoliberal di Indonesia. Pengalaman sebelumnya, meskipun kekuatan oposisi masih sering menggangu upaya SBY di parlemen, tetapi berbagai kebijakan neolib—kenaikan BBM, SKB empat menteri, UU pro-neolib, dll—masih tidak terhadang sama sekali. Bahkan, berkali-kali gerakan massa ekstra-parlemen pun tidak berdaya menghadangnya.

May Day , kecurangan pemilu, dan Perkuat Blok Anti Neoliberal

Arti penting May day 2009 adalah karena bertepatan dengan derap langkah sayap kanan pendukung neoliberal untuk melanjutkan kekuasaannya. Bukan hanya di Indonesia, tetapi di berbagai belahan dunia, perlawanan serupa juga mengambil tempat dalam tuntutan dan proposal perjuangan mereka.

Dalam peringatan May day, ada dua tema mendasar yang harus direspon, yakni persoalan kecurangan pemilu---menyangkut persoalan demokrasi—dan berlanjutnya kekuasaan neoliberal. Kecurangan pemilu dan berlanjutnya kekuasaan neoliberal merupakan dual hal tidak terpisahkan. Pemilu curang merupakan basis kemenangan partai-partai kanan-neoliberal.

Dalam persoalan demokrasi, point yang paling krusial harus disuara gerakan pekerja adalah; pertama, penghilangan paksa hak pilih rakyat karena mereka tidak terdaftar dalam DPT. Padahal, untuk melakukan pendataan, KPU telah dibekali begitu banyak anggaran. Setidaknya, berdasarkan berbagai sumber, KPU telah dibekali Rp. 3 trilyun untuk pemuktahiran data, agar seluruh rakyat bisa menggunakan hak pilihnya. Kemana dana tersebut?

Kedua, KPU tidak memberikan kemudahan kepada para pemilih dalam menggunakan hak pilihnya, misalnya; KPU tidak memfasilitasi TPS di rumah sakit, tempat rekreasi, penjara/LP, dan lain-lain. Banyak pekerja juga yang kehilangan hak pilih karena dipersulit oleh aturan KPU, misalnya soal domisili, dsb.

Ketiga, terjadinya penggelembungan suara atau kecurangan yang dilakukan di sejumlah TPS, baik yang dilakukan oleh panitia penyelenggara pemilu (PPS-PPK-KPUD-KPU) maupun oleh aparat pemerintahan.

Persoalan kesejahteraan dan pengabaian hak politik (demokrasi) saling berkaitan. Bagi gerakan buruh, hal ini menyediakan potensi front yang luas dan lebar, yaitu mencakup sektor-sektor yang menjadi korban neoliberalisme8 dan kekuatan-kekuatan politik yang dirugikan oleh pemilu “curang” rejim neoliberal. Tentu saja, potensi politik ini hanya bisa terbuka jika gerakan buruh merespon persoalan kecurangan pemilu dikombinasikan dengan sentimen anti-neoliberalisme. sehingga, persoalan kecurangan pemilu –sebagai masalah demokrasi—harus menjadi salah satu tuntutan dalam gerakan buruh pada satu mei, selain tuntutan-tuntutan anti-neoliberal.

Ada beberapa bahan yang perlu mendapatkan pendiskusian khusus dari gerakan pekerja; pertama, bagaimana merumuskan musuh utama dan siapa kawan terdekat, maupun sektor-sektor sosial yang perlu dirangkul pada tahap histories tertentu. Hal ini penting, supaya gerakan buruh tidak membuang “kesempatan” dalam menghadang berkuasanya kembali rejim neolib di Indonesia, seperti pada pemilu legislatif yang lalu. Selain itu, proses kecurangan dalam pemilu dapat menjadi basis menarik dukungan luas, karena pelaku kecurangan adalah juga rejim neoliberal.

Kedua, kekuatan-kekuatan politik yang belum kelihatan anti-neoliberal, tetapi beroposisi terhadap penyelenggaraan pemilu yang curang, seperti kelompok-kelompok penggiat demokrasi, partai politik, dsb, perlu diberi ruang untuk terlibat dalam aksi bersama satu mai (Hari pekerja internasional). Sehingga, aksi peringatan 1 mei bisa kelihatan sebagai aksi rakyat menggugat penyelewengan pemilu, yang dilakukan oleh rejim neolib. Seperti yang diorganisir oleh PRD, manuel Lopez Obrador, di Meksiko, ketika mereka memobilisasi lebih dari 2 juta orang di seluruh negeri untuk memprotes kecurangan pemilu. Mereka menduduki lapangan utama di kota Mexico city, Zocalo, dimana ia menggelar “sidang rakyat luar biasa” menolak hasil pemilu curang.

Ketiga, perlu dirumuskan program dan proposal alternatif diluar skema neoliberalisme yang ditawarkan oleh aliansi neolib sekarang. Program dan proposal ini harus bisa menyatukan semua sektor dalam tuntutan bersama. Selain itu, perlu difikirkan slogan yang menyatukan kehendak massa rakyat, seperti: tanah, roti, dan perdamaian-nya Bolshevik9. Dengan peran media semakin begitu besar, maka slogan punya arti penting sebagai alat identifikasi oleh massa, mirip brand pada produk.

Dalam momentum May Day, yang dipahami sebagai peringatan perjuangan buruh yang heroik dan berhasil, capaian politiknya harus menstimulasi lahirnya polarisasi besar dalam konteks politik nasional; antara pro-neoliberalisme dan anti-neoliberalisme, apalagi karena mendekati pemilu presiden. Belum lagi memperhitungkan beberapa momentum perlawanan pada bulan mei, seperti peringatan tragedy trisakti, peringatan kejatuhan orde baru10, hari pendidikan nasional, dsb. Boleh jadi, peringatan May Day menjadi awal untuk menstimulasi perlawanan yang lebih besar.

Pemerintahan Persatuan Nasional dan Programnya Bagi Kaum Pekerja

Persatuan nasional yang dibicarakan disini adalah aliansi sektor-sektor yang menentang neoliberal, menyepakati program kemandirian bangsa (kedaulatan nasional), serta mencita-cita indonesia masa depan yang berdikari di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian di bidang budaya. Persatuan ini bukan saja organisasi-organisasi massa (serikat buruh/tani), partai politik, gerakan sosial, tetapi juga individu dan tokoh-tokoh (intelektual, seniman, professional, teknokrat, dsb) yang bervisi anti-neoliberal dan pro-kemandirian bangsa.

Karena medan aliansi yang kita masuki kedepan, terutama pilpres, adalah sangat luas dan beragam, maka diperlukan sebuah core inti yang mengambil kepemimpinan dan menjalankan program secara independen. Core ini dapat difungsikan sebagai poros yang terus mengarahkan koalisi ini tetap berjalan pada rel anti-neoliberal. Program tersebut adalah program anti neoliberal secara konsisten dan program-program kemandirian bangsa.

Pemerintahan persatuan nasional harus terus dikampanyekan, sebagai penjelasan kepada rakyat bahwa ideal dari perubahan politik di Indonesia adalah pergantian kekuasaan politik, dari rejim neoliberal menjadi sebuah pemerintahan baru dan haluan ekonomi baru; anti-neoliberal (berdikari dan solidaritas).

Berikut beberapa proposal yang perlu diajukan gerakan buruh:

1. Program Darurat Mengantisipasi Krisis Finansial:



1. Mengembangkan sistim jaminan sosial yang komprehensif kepada pekerja, berupa; Asuran Kesehatan, Pensiun, Jaminan Bagi Penganggur, dan sebagainya;
2. Menghapus pajak penghasilan bagi buruh dengan pendapatan 1,5 juta ke bawah;
3. Membangun dan menjamin perumahan massal dan layak bagi buruh, dengan prioritas buruh yang ber-upah 1,5 juta ke bawah.
4. Meminta penambahan anggaran Bantuan Keuangan Pemutusan Hubungan Kerja (BKPHK) dari program Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP) Jamsostek. Saat ini, anggaran BKPHK nilainya sangat kecil, yaitu Rp. 350 ribu/orang, sehingga tidak dapat dimanfaatkan menjadi modal usaha.
5. Mendorong Negara menyediakan kredit untuk pembangunan unit usaha kerakyatan, seperti koperasi-koperasi, home industri, dan Usaha Kecil menengah, terutama korban PHK. Dana dapat diserahkan kepada setiap serikat buru/ serikat pekerja, dan dikontrol dan diaudit oleh publik.
6. pabrik-pabrik yang ditinggalkan oleh pemiliknya, harus disita mesin-mesinnya dan kemudian diambil alih Negara, kemudian dijalankan oleh buruh dengan pendanaan dan dukungan dari Negara. Jadi, semacam kemitraan kerja antara pekerja dan Negara;
7. Mendorong misi “pendidikan” untuk kaum buruh berdasarkan tingkatan (pemberantasan buta huruf, sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, dan universitas);



2. Berikut beberapa program penyelamatan Industri Nasional;



1. Pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, sistim transfortasi, pelabuhan, bandara, pasokan listrik, dan lain-lain untuk menopang industrialisasi;
2. Membangun industri berbasis sumber daya alam guna member nilai tambah kepada rakyat. Selain itu, kebijakan strategis industri harus mendorong sektor swasta harus menghasilkan industri yang mengelola bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan barang jadi;
3. Mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku impor dengan mulai memanfaatkan bahan baku yang tersedia di Indonesia. Selain itu, Negara harus menjamin ketersediaan bahan baku untuk Industri agar tetap berproduksi. Jika diperlukan, larangan ekspor terhadap jenis bahan baku tertentu dapat diberlakukan hingga kebutuhan domestik dapat terpenuhi;
4. Meng-upgrade mesin-mesin yang sudah tua dengan mesin-mesin yang baru. Investasi yang bergerak pada penciptaan mesin (mother machine) perlu digalakkan. Mendorong industri elektronika berpindah dari teknologi analog ke digital, sekaligus pengembangan industri komponen dan industri pendukung lainnya;
5. Negara harus membangun Bank khusus yang mendanai proses industrialisasi, seperti Bank Industrialisasi Nasional (BIN) yang dibentuk Bung Karno era tahun 1960-an. Selain itu, pemerintah tetap harus mendorong fungsi intermediasi antara perbankan dan sektor real. Saat ini perbankan swasta sudah 65% dikuasai asing, artinya sangat susah mengharapkan peran mereka dalam menggerakan industri nasional;
6. Setiap pemberian ijin pada investasi yang beroperasi di sektor hulu harus disertai persyaratan; pembangunan industri pengolahan agar bahan mentah ekstraktif tidak lansung diekspor ke luar negeri
7. Menghapuskan pungli dan segala bentuk “uang pelicin” yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi bagi sektor industri. Reformasi birokrasi harus diarahkan pada pembentukan KPK hingga kabupaten;
8. Menjamin pasar bagi produk industri tertentu, menerapkan proteksi terhadap jenis komoditi yang masih memiliki daya saing rendah dengan memberlakukan pajak dan cukai yang tinggi pada jenis komoditi yang sama, yang diimpor dari luar negeri;
9. Mendorong pengembangan sumber daya manusia yang terampil dengan menggratiskan biaya pendidikan di seluruh jenjang pendidikan. Menggalakkan penelitian untuk pengembangan teknologi baru di Universitas.



C. Program Strategis (Tripanji Persatuan Nasional):

1. Menasionalisasi industri pertambangan asing dan perusahaan-perusahaan strategis yang dikuasai asing;
2. Penghapusan utang luar negeri;
3. Industrialisasi nasional untuk kesejahteraan rakyat;
Continue Reading...

20 Februari 2009

PENJAJAH ITU BERNAMA UU BHP


Oleh: Edi Susilo

Apa sebenarnya BHP? UU BHP lahir dari turunan kesepakatan Indonesia dalam Perjanjian WTO yakni General Agreement On Trade and Service (GATS). Dalam negosiasi perundingan GATS, penyediaan jasa pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa lainnya yang akan diliberalisasi. WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan. pada prinsipnya perjanjian tersebut dibagi dalam dua kategori, yaitu pertama adalah Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (GATT) dan kedua adalah Perjanjian Umum mengenai Perdagangan di Sektor Jasa (GATS). Karena Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani pembentukan WTO, mengakibatkan Indonesia harus tunduk pada dua kewajiban tersebut. Ikutnya Indonesia dalam GATS mengharuskan pendidikan Indonesia terlibat dalam globalisasi (baca: liberalisasi) pendidikan.

Dari kelahiranya saja sudah sangat jelas bahwa sebanarnya arah dari UU BHP adalah komersialisasi pendikan, secara lebih detail pada bulan Maret 2003 International Conference on Implementing Knowledge Economy Strategies diselenggarakan di Helsinki, Finlandia, dan melahirkan apa yang disebut Knowledge Economy. Konsep ini adalah hal baru di sektor pendidikan yang dipakai di negara-negara dunia pertama. Apakah Knowledge Economy? Knowledge Economy adalah konsep untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi, maka industri di negara-negara maju membutuhkan kualifikasi buruh yang tidak saja terampil di bidangnya, namun juga mampu menguasai sistem teknologi dan informasi yang dipakai secara luas dalam dunia profesional. Konsep Knowlegde Economy kemudian ditindak lanjuti dengan pertemuan WTO (World Trade Organisation) yang menghasilkan kesepakatan bersama antar negara-negara yang tergabung dalam WTO. Kesepakatan itu dirangkum dalam GATS (General Agreement On Trade Service) yang menghasilkan keputusan cukup controversial bagi negara-negara dunia ketiga yaitu komersialisasi pendidikan atau pendidikan dimasukkan dalam bidang jasa yang layak untuk diperjualbelikan dan diperdagangkan. Dan parahnya lagi, Indonesia meratifikasi kesepakatan tersebut. Follow up dari ratifikasi kesepakatan tersebut dengan membuat Undang-Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan. Tema sentral UU BHP tersebut adalah komersialisasi pendidikan di Indonesia.

Sifat dasar UU BHP tidak banyak bergeser dari rangkain konsep dalam berbagai versi RUU sebelumnya, bahkan dalam beberapa pasal justru lebih ditegaskan ) sifat korporat, liberal, deskriminatif).Walupun pasal tentang peluang masuknya bhp asing tidak lagi tampak dalam UU BHP,namun pasal 65 UU Sisdiknas masih mengamanahkan kepentingan bhp asing dalam peraturan Pemerintah,dalam 4 fungsi sebagaimana yang dinginkan oleh WTO/ GATS. Harkat dan martabat guru sangat direndahkan dalam kedudukan sebagai tenaga kontrak,dan akibatnya hubungan yang serasi dengan murid seperti dalam sistem Among,akan ulit direalisasikan. Rangkaian kebijakan Pemerintah mulai dari UU Sisdiknas,UU Guru dan Dosen ,Perpres 76 dan 77.dan kemudian UU BHP,tampaknya perlu dikaji lagi secara kritis karena mengandung akomodasi WTO/GATS.

Pendidikan adalah hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh pemerintah bukan kewajiban rakyat untuk membiayai dan bukan hak pemerintah untuk mengambil keuntungan dari pendidikan itu. Mari bersatu mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat.
CABUT UU BHP!!!
Continue Reading...

13 Januari 2009

Sepenggal Kisah Dari Para Buruh Gendong Pasar


oleh: Edi Susilo

Bertarung dengan waktu, memikul beban yang begitu berat, ditengah kepongahan negeri, begitulah hari-hari yang harus dilalui oleh wanita-wanita kekar di Bringharjo tanpa mengenal beban berat di tubuh renta mereka, bahkan sudah terbiasa mengangkat beban sebesar 50kg dari lantai satu pasar Bringharjo ke lantai tiga, semua demi sesuap nasi dan demi kehidupan anak-anak yang lebih baik

Mata selalu tertuju pada mobil-mobil pengangkut sayuran, dan barang-barang. Berharap ada rizki yang datang, meski tubuh mereka rata-rata telah renta mereka tidak peduli, ditengah dingin udara pagi dengan semangat untuk bertahan hidup, dengan bermodal kain selendang yang selalu tergantung di leher, tubuh renta itu berlomba untuk dapat memikul barang dagangan yang pagi itu tiba, meski beban yang di pikul kadang tidak sesuai dengan kondisi tubuh renta mereka, tumpukan sayuran yang rata-rata beratnya 50 kg dengan enteng digendongnya, lalu dengan penuh semangat mereka mengantarkan barang-barang itu kepada para pedagang dengan sebelumnya di timbang diantar menuju timbangan terlebih dahulu.
Begitulah kehidupan setiap hari para buruh gendong di pasar bring harjo, yogyakarta, tubuh-tubuh kekar wanita-wanita paruh baya itu menggantungkan nasibnya pada barang-barang yang datang, dengan perasaan bahagia para wanita paruh baya itu berlarian menuju mobil sayur yang datang.
Seperti diungkapkan oleh Sumiyati (40) salah satu burung gendong di pasar Bringharjo menuturkan bahwa setiap hari dia harus berangkat dari rumahnya pukul 06.30 dan biasanya sumiyati sudah mulai bekerja setelah sebelumnya beristirahat terlebih dahulu baru biasanya pukul 07.00 mulai bekerja “aku iki mas tiap dino budal neng pasar bring harjo jam pitu kudu wes teko kene, trus engko mulihe jam sekawan sore, yo lek lagi nasib apik iso sedino sampe 10-15 angkatan” saya ni mas setiap hari jam 07.00 harus sudah sampai pasar bring harjo, dan nanti pulangnya pukul empat sore, kalau nasib lagi baik dalam sehari bisa mencapai 10-15 angkatan.
Sambil sesekali mendongakan kepalanya berharap ada mobil barang yang datang, ketika saya mencoba menanyakan berapa penghasilanya setiap hari, sumiyati menjelaskan “ yokalekne wae mas, bayarane sekali angkatan bisa 2000 bisa 3000 perak” ya dikalikan saja mas, uang pembayaran dalam sekali mengangkat barang bisa diberi 2000 bisa juga diberi upah 3000 rupiah. Sebenarnya saat itu sumiyati juga di temani oleh beberapa buruh gendong lain di pasar bring harjo tetapi ketika saya coba menanyakan kepada mereka, para buruh gendong menjawab kurang lebih sama mas nasib kami, begitu seperti diungkapkan ungkapkan Prapti yang diamini juga oleh Tumisri. Sumiyati wanita paruh baya yang sudah mulai kelihatan beberapa uban rambut kepalanya juga ngudo roso bahwa penghasilanya sebagai buruh gendong juga digunakan sebagai penopang hidup keluargannya sehari-hari.
Setali tiga uang dengan nasib yang dialami oleh sumiyati, Boinem (61) wanita tua yang berasal dari Perengkembang, Balecatur Gamping Sleman. Yang juga menggantungkan nasibnya sebagai buruh gendong di pasar bring harjo, meski pun tubuhnya sudah bisa dibilang renta namun mbah boinem tetap menekuni pekerjaanya sebagai buruh gendong, tubuh yang seharusnya harus bersitirahat dengan tenang di rumah sambil menimang cucu namun tetap harus mengais sesuap nasi demi menghidupi anak-anaknya, mbah boinem harus berangkat setiap hari ke pasar bring harjo pukul 05.00 dan biasanya baru pulang pukul 16.00. karna jauhnya jarak ruman boinem dari pasar bring harjo, penghasilan yang tidak sebarapa sebagai buruh gendong terpaksa harus dibagi lagi, menurut mbah boinem pendapatan harian nya masih juga harus dibagi dengan biaya transportasi, dan lumayan bisa melahap jumlah yang cukup besar untuk ukuran kantong boinem Rp 8.000,Sisanya untuk sekolah anak, dan membiayai keluarga. “oalah mas wes aisile saitik gor 20.000 kuwi wae isik dingo ngebes, pulang pergi iso entek wolongewu”
. Setelah seharian di pasar Bringharjo Yogyakarta, saya kemudian melaju menuju pusat pasar buah dan sayur di Yogyakarta tepatnya di pasar buah giwangan, pasar buah yang berjarak kurang lebih 10 menit berkendaraan sepeda motor dari pasar Bringharjo.
Siang ini terik sekali, cuaca sangat panas sementara suhu udara begitu tinggi, dengan terus masuk kedalam pasar, akhirnya kru kami menemui pemandangan yang sungguh bisa membuat mata kita menitikan air mata, di tengah terik matahari tepat di di tengah pasar di tempat biasa para mobil pegangkut buah dan sayur berhenti terlihat kerumunan orang yang sedang menggerubuti sebuah mobil pembawa tomat dan sayur-sayuran serta sebuah mobil pengusung semangka sangat banyak di kerubuti orang, namun anehnya bukan pembeli yang mengerubuti beberapa leleki kekar, dan lebih banyak wanita paruh baya yang di lehernya tergelantung selendang, rupanya mereka adalah para buruh gendong di pasar buah dan sayur giwangan yang tengah mengais rizki, meskipun sinar matahari begitu menyengat, dan keringat bercucuran demi makan anak dan keluarganya mereka rela melakukan itu, mereka bukan wanita-wanita yang rela dengan begitu saja keadaan mereka para wanita pejuang sejati.
Ditengah kerumunan tersebut terlihat seorang wanita yang sudah kelihatan berusia diatas 40 tahun dengan tubuh yang begitu kurus terlihat tengah menggendong sekeranjang besar semangka yang mungkin beratnya bisa mencapai 40kg lebih, Yu Narsih biasa teman-teman seprofesi nya sebagai buruh gendong menyebut namanya, Narsih terlihat begitu letih dan keringat bercucuran di di kening nya, sesekali narsih mengusap keringat-keringat yang terus berjatuhan bagai butir-butir padi itu. Bagaimana Yu penghasilan hari ini Sarinah coba mencari tahu, “biasa mas koyo dino-dino biasane, saiki ora terlalu rame, iki mau aku isih ngangkut peng enem ket sak yahene” biasa mas, seperti hari-hari sebelumnya, sekarang tidak terlalu rame, sehari ini tadi saya masih mengangkut enam kali sampai detik ini. Sambil berjalan Yu Narmi menjawab pertanyaan, dan kembali lagi mengangkut barang-barang dari mobil yang baru datang menurunkan semangka dan tomat.
Continue Reading...

12 Januari 2009

PETANI TERCEKIK

Kacang lupa akan kulitnya? Ungkapan ini sangat ideal dialamatkan kepada Republik Indonesia. Negara yang menamakan dirinya sebagai negara agraris tetapi kian abai terhadap nasib petaninya. Bagaimana tidak? harapan besar petani ketika SBY-Kalla pada 11 Juni 2005 mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Disusul dengan pengumuman pemerintah pada 28 September 2006 yang menyatakan akan melaksanakan pembaruan agrarian. Yaitu dengan menyediakan lahan seluas 8,15 juta hektar via Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) serta janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 31 Januari 2007 melalui pidatonya tentang pelaksanaan pembaruan agraria kini hanya isapan jempol belaka.

Namun anehnya, permasalahan yang muncul dari tahun ke tahun hanya berkutat pada permasalah klasik. Petani tercekik karena tingginya biaya produksi dan rendahnya harga jual produk pertanian. Harga pupuk semakin mahal karena pencabutan subsidi pupuk untuk petani pada tahun 1999. Rupanya menyejahterakan petani hanya khayalan pemerintah yang tidak atau belum dirasakan oleh petani.


Belum lagi permasalahan tingginya harga pupuk. Sampai saat ini petani terkesan selalu dimanfaatkan oleh sebuah kebijakan. Dengan dalih kekurangan stok beras nasional, kebijakan impor beraspun dilakukan pemerintah. Harga beras impor yang relatif lebih murah dari harga beras dalam negeri membuat produksi gabah nasional yang notabene berasal dari petani tradisional dengan mutu yang kurang menjadi tidak laku. Hal ini merupakan faktor sensitif bagi para petani padi di Indonesia, sehingga akan memicu konflik horizontal dunia pertanian Indonesia. Bisa dibayangkan bagaimana rintihan petani jika untuk memproduksi beras saja dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ditambah dengan berbagai kendala yang mungkin terjadi secara tiba-tiba seperti gagal panen dan sebagainya. Namun ketika hendak menjualnya sudah tidak laku lagi karena begitu banyak beras impor yang masuk ke negeri ini.

Konsep pertanian Indonesia belum terintegrasi dengan baik, karenanya perlu melibatkan dan mendengarkan keluhan petani. Wajib hukumnya bagi pemimpin negara untuk mau terjun langsung melihat kondisi petani di republik ini. Disamping itu pemerintah harus berani mematok harga dasar produk pertanian Indonesia, terutama harga beras. Hal ini dilakukan sebagai jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri jika terjadi fluktuasi pada harga dasar pertanian Indonesia. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi (harga pupuk dan kebutuhan lain yang menunjang produksi pertanian) dan tidak lagi bergantung pada pasar internasional. Pemerintah harus punya prinsip bahwa pertanian harus dikuasai rakyat. Sebagian besar rakyat akan terjamin kecukupan pangannya kalau mereka sendiri yang memproduksinya. Jumlah kelaparan di dunia yang kini lebih dari 852 juta jiwa bukan disebabkan oleh ketidakcukupan produksi pangan dunia, tetapi pangan yang ada bukan milik mereka. Kini pangan dunia makin banyak yang diproduksi dan diperdagangkan oleh perusahaan agribisnis trans-nasional. Dan pemerintah harus mencegah hal yang sama terjadi di negeri ini.

Tidak ada bangsa besar di dunia sampai sekarang ini yang pertaniannya tidak kuat. Sebagai stake holder penunjang perekonomian, petani harus mendapat perhatian lebih. Hal yang paling mendasar dalam mewujudkan itu adalah penataan kembali sistem agraria nasional demi keadilan dan kemakmuran para petani dan seluruh rakyat Indonesia. Haruskah kita masih mendengar cerita-cerita miris tentang petani kita? Haruskah masih terdengar berita krisis pangan dan kelaparan di negeri ini sementara kita sendiri Negara agraris? Haruskah pula kita mendengar cerita kesulitan para petani dalam menggarap lahan sawahnya hanya karena tidak mampu membeli pupuk urea yang saat ini harganya sudah mencapai 80 ribu untuk takaran 50 kg? Padahal pupuk merupakan sarana produksi penunjang produk pertanian. Semuanya kembali pada kebijakan para pemimpin negara ini. Masih mau dan mampukah pemimpin negara ini menegakkan keadilan untuk para petani kita. Memang, berkata di atas meja kampanye luar biasa gampangnya, dengan janji-janji manis yang dapat mendatangkan simpati rakyat kecil untuk memilihnya. Namun setelah menguasai tampuk kepemimpinan di negeri ini apakah ia benar-benar memperhatikan rakyat kecil, khususnya petani? Atau memang akan mencekik petani selamanya? Pernahkan terbayangkan petani sampai meneteskan air matanya di sawah hanya demi bertahan hidup, akan sampai kapan pemerintah menutup mata? (edi)
Continue Reading...

MENGEKOR MEKANISME PASAR INTERNASIONAL


Sebulan yang lalu ketika saya berjalan-jalan di kawasan Taman Budaya Yogyakarta, saya sempat berbincang-bincang dengan seorang tukang becak, dan pedagang kacang godhok (rebus; pen). Pada saat itu ketika asyik berbincang, saya menanyakan kepada tukang becak dan penjual kacang godhok tadi. Bagaimana pak dampak kenaikan BBM bagi kehidupan bapak? Bapak tukang becak dengan raut muka setengah putus asa menjawab “ Wah arep piye maneh mas, kayak aku ngeneki yo jelas gawe semaput wes urip kembang kempis, penghasilan ora tentu, nggo mangan wae susah saiki apa-apa larang gara-gara BBM mundhak ”. (Wah mau bagaimana lagi mas, orang seperti saya ini seperti mau pingsan, sudah hidup kembang-kempis, penghasilan tidak menentu, buat makan saja sudah susah, sekarang apa saja mahal gara-gara BBM naik). Tak berapa lama bapak penjual kacang godhok pun angkat bicara “ Lho, BBM mundhak kuwi omonge kan nyesuekke harga internasional kaya berita neng tipi-tipi, negara kok sak penake dewe” (Lha, BBM naik itu katanya untuk menyesuaikan harga internasional seperti berita di beberapa stasiun televisi, kenapa negara seenaknya sendiri). Saya jadi berfikir, apakah melepaskan harga BBM kedalam mekanisme pasar internasional adalah sebuah alasan yang tepat dan bisa diterima masyarakat.

Mungkin dalam benak tukang becak dan penjual kacang godhok sebagai interpelasi masyarakat kelas papa di negara ini, melepaskan harga ke dalam mekanisme pasar internasional adalah sebuah alasan yang aneh dan dibuat-buat dalam menetapkan harga. Sebuah alasan yang sangat tidak tepat. Kenapa setiap menaikan harga pemerintah Republik Indonesia sejak jaman orde baru sampai sekarang selalu memberikan alasan sama, menyesuaikan harga internasional. Ambil contoh kecil saja, ketika pemerintah menaikan harga gula tahun 1972 alasan yang digunakan adalah mengikuti harga internasional. Diikuti kenaikan-kenaikan harga selanjutnya masih juga alasan sama yang digunakan, menyesuaikan harga internasional. Sampai pada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (baca:BBM) sekarang pun pemerintah masih menggunakan alasan yang sama. Bulan Agustus lalu, alasan serupa juga masih menjadi kata sakti pemerintah untuk menaikkan harga LPG. Apakah seperti ini cermin pemerintahan di Indonesia?

Pemakaian alasan mengikuti mekanisme pasar internasional tidak dapat diterima oleh rakyat Indonesia, logika berfikir pemerintah ini sungguh keblinger dan membodohi rakyat. Seharusnya dengan kenaikan harga minyak dunia, bisa memberikan rejeki nomplok berupa wind-fall profit sebesar Rp. 53 triliun dalam setiap kenaikan 1 USD. Itu jauh lebih tinggi ketimbang subsidi BBM tahun 2008 46,7 trilyun rupiah. Tekanan pemborosan terhadap anggaran APBN justru bersumber pada pembayaran utang luar negeri, yang untuk anggaran APBN 2008 mencapai 91,365 triliun. Rasio utang luar negeri mencakup 30-40 dari pendapatan (PDB) dan 30% dari total APBN. Di Venezuela, harga BBM masih dibawah Rp 400, padahal upah pekerjanya secara nasional melebihi Rp 3 juta. Kenapa Indonesia justru terjadi sebaliknya?

Selain itu, kenapa menggunakan alasan mengikuti mekanisme pasar. Hal itu tidak bisa diterima masyarakat Indonesia, sebab penghasilan dan daya beli rakyat Indonesia jauh dibawah penghasilan di banyak negara. Bagaimana mungkin disamakan pendapatan perkapita rakyat Indonesia yang hanya USD 1946 (data BPS per 15/2/2008 ) dengan Hongkong yang berkisar antara US$ 30000 – 46000. Atau Jepang dan Australia yang masing-masing mempunyai pendapatan per kapita sekitar US$ 34.189 dan A$50.000 per tahun. Belum lagi 37,17 juta orang (16,75%) penduduk kita masih didera kemiskinan dengan penghasilan rata-rata Rp 166.697 perbulan (data BPS terakhir maret 2007). Dan selanjutnya, alasan menyesuaikan dengan harga diluar negeri dinilai sangat arogan oleh rakyat Indonesia. Sebab sangat bertolak belakang dengan keadaan rakyat Indonesia yang serba kekurangan.

Seharusnya pemerintah berani untuk lebih jujur dan terbuka, dengan menggunakan alasan yang lebih tepat. Dan ketika alasan tersebut disampaikan kepada rakyat miskin, bisa diterima rakyat kecil diseluruh penjuru negeri. Kenapa pemerintah tidak lebih baik mengatakan bahwa kenaikan BBM dan harga-harga yang lain adalah untuk mengumpulkan uang demi menutup hutang negara. Hutang yang diakibatkan oleh banyaknya uang negara yang habis dimakan oleh para koruptor, atau untuk membiayai dan memberikan penghidupan yang layak bagi masyarakat Sidoarjo yang sampai sekarang nasibnya dibiarkan mengambang dan belum ada ganti rugi yang jelas. Atau bahkan mungkin untuk membantu petani Super Toy di Purworejo yang gagal panen. Alasan yang membuat rakyat merasa bangga telah menyumbang beberapa rupiah untuk menyelamatkan negaranya ketika mereka membeli bensin satu liter.

Jika pemerintah tetap pada pendiriannya dan selalu memberikan alasan yang sama, menyesuaikan harga dalam negeri dengan harga internasional. Lambat laun semua barang dan jasa yang dijual di masyarakat tidak akan terbeli lagi oleh rakyat Indonesia, rakyat sudah melarat jangan ditambah sekarat.

Akhirnya para buruh pabrik berhak menuntut UMR sesuai standar internasional. Pegawai negeri juga berhak menuntut pemerintah supaya mereka juga dibayar dengan ukuran internasional. Adil bukan?

Ditengah himpitan kehidupan yang serba susah, yang diakibatkan kebutuhan sehari-hari selalu meroket dari hari ke hari. Setidaknya dimata tukang becak dan penjual kacang godhok serta 37,17 juta kaum papa di negeri ini masih terbersit sebuah harapan, meskipun bukan mereka yang menikmati tetapi anak cucu mereka. Harapan hidup di sebuah negeri kaya, negeri yang “gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karta raharja”. Negeri yang dipimpin pemerintah yang adil dan bukan pemerintahan korup. Sebuah negeri dimana untuk mendapatkan sembako mudah dan terjangkau, kesehatan gratis, sekolah gratis hingga anak-anak tukang becak pun mampu mengakses bangku sekolah sehingga terbebas dari buta huruf. Itulah harapan tukang becak dalam doanya setiap hari. Mungkinkah harapan tukang becak dan penjual kacang godhok serta 37,17 juta kaum papa di negeri ini bisa jadi kenyataan? Kapan? (edi)
Continue Reading...
 

Blogroll

Site Info

Text

CERDAS POS Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template