12 Januari 2009

PETANI TERCEKIK

Kacang lupa akan kulitnya? Ungkapan ini sangat ideal dialamatkan kepada Republik Indonesia. Negara yang menamakan dirinya sebagai negara agraris tetapi kian abai terhadap nasib petaninya. Bagaimana tidak? harapan besar petani ketika SBY-Kalla pada 11 Juni 2005 mencanangkan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Disusul dengan pengumuman pemerintah pada 28 September 2006 yang menyatakan akan melaksanakan pembaruan agrarian. Yaitu dengan menyediakan lahan seluas 8,15 juta hektar via Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) serta janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 31 Januari 2007 melalui pidatonya tentang pelaksanaan pembaruan agraria kini hanya isapan jempol belaka.

Namun anehnya, permasalahan yang muncul dari tahun ke tahun hanya berkutat pada permasalah klasik. Petani tercekik karena tingginya biaya produksi dan rendahnya harga jual produk pertanian. Harga pupuk semakin mahal karena pencabutan subsidi pupuk untuk petani pada tahun 1999. Rupanya menyejahterakan petani hanya khayalan pemerintah yang tidak atau belum dirasakan oleh petani.


Belum lagi permasalahan tingginya harga pupuk. Sampai saat ini petani terkesan selalu dimanfaatkan oleh sebuah kebijakan. Dengan dalih kekurangan stok beras nasional, kebijakan impor beraspun dilakukan pemerintah. Harga beras impor yang relatif lebih murah dari harga beras dalam negeri membuat produksi gabah nasional yang notabene berasal dari petani tradisional dengan mutu yang kurang menjadi tidak laku. Hal ini merupakan faktor sensitif bagi para petani padi di Indonesia, sehingga akan memicu konflik horizontal dunia pertanian Indonesia. Bisa dibayangkan bagaimana rintihan petani jika untuk memproduksi beras saja dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ditambah dengan berbagai kendala yang mungkin terjadi secara tiba-tiba seperti gagal panen dan sebagainya. Namun ketika hendak menjualnya sudah tidak laku lagi karena begitu banyak beras impor yang masuk ke negeri ini.

Konsep pertanian Indonesia belum terintegrasi dengan baik, karenanya perlu melibatkan dan mendengarkan keluhan petani. Wajib hukumnya bagi pemimpin negara untuk mau terjun langsung melihat kondisi petani di republik ini. Disamping itu pemerintah harus berani mematok harga dasar produk pertanian Indonesia, terutama harga beras. Hal ini dilakukan sebagai jaminan untuk tetap menggairahkan produksi pangan dalam negeri jika terjadi fluktuasi pada harga dasar pertanian Indonesia. Harga harus sesuai dengan ongkos produksi (harga pupuk dan kebutuhan lain yang menunjang produksi pertanian) dan tidak lagi bergantung pada pasar internasional. Pemerintah harus punya prinsip bahwa pertanian harus dikuasai rakyat. Sebagian besar rakyat akan terjamin kecukupan pangannya kalau mereka sendiri yang memproduksinya. Jumlah kelaparan di dunia yang kini lebih dari 852 juta jiwa bukan disebabkan oleh ketidakcukupan produksi pangan dunia, tetapi pangan yang ada bukan milik mereka. Kini pangan dunia makin banyak yang diproduksi dan diperdagangkan oleh perusahaan agribisnis trans-nasional. Dan pemerintah harus mencegah hal yang sama terjadi di negeri ini.

Tidak ada bangsa besar di dunia sampai sekarang ini yang pertaniannya tidak kuat. Sebagai stake holder penunjang perekonomian, petani harus mendapat perhatian lebih. Hal yang paling mendasar dalam mewujudkan itu adalah penataan kembali sistem agraria nasional demi keadilan dan kemakmuran para petani dan seluruh rakyat Indonesia. Haruskah kita masih mendengar cerita-cerita miris tentang petani kita? Haruskah masih terdengar berita krisis pangan dan kelaparan di negeri ini sementara kita sendiri Negara agraris? Haruskah pula kita mendengar cerita kesulitan para petani dalam menggarap lahan sawahnya hanya karena tidak mampu membeli pupuk urea yang saat ini harganya sudah mencapai 80 ribu untuk takaran 50 kg? Padahal pupuk merupakan sarana produksi penunjang produk pertanian. Semuanya kembali pada kebijakan para pemimpin negara ini. Masih mau dan mampukah pemimpin negara ini menegakkan keadilan untuk para petani kita. Memang, berkata di atas meja kampanye luar biasa gampangnya, dengan janji-janji manis yang dapat mendatangkan simpati rakyat kecil untuk memilihnya. Namun setelah menguasai tampuk kepemimpinan di negeri ini apakah ia benar-benar memperhatikan rakyat kecil, khususnya petani? Atau memang akan mencekik petani selamanya? Pernahkan terbayangkan petani sampai meneteskan air matanya di sawah hanya demi bertahan hidup, akan sampai kapan pemerintah menutup mata? (edi)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogroll

Site Info

Text

CERDAS POS Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template